Prof. Habibah, Dokter Mata JEC Orbita, Dikukuhkan sebagai Guru Besar Unhas
Universitas Hasanuddin mengukuhkan Prof. dr. Habibah S. Muhiddin, SpM, dari RS Mata JEC Orbita Makassar, sebagai Guru Besar Ilmu Vitreoretina, menekankan pentingnya pencegahan kebutaan akibat retinopati diabetik.

Universitas Hasanuddin (Unhas) baru-baru ini mengukuhkan empat Guru Besar baru, salah satunya adalah Prof. dr. Habibah S. Muhiddin, SpM, dokter spesialis mata di RS Mata JEC Orbita Makassar. Pengukuhan berlangsung pada Selasa, 18 Februari 2024, di Ruang Senat, Gedung Rektorat Kampus Unhas Makassar, Sulawesi Selatan. Prof. Habibah dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Vitreoretina, Fakultas Kedokteran Unhas, sebuah pencapaian luar biasa yang menandai dedikasi beliau pada dunia kedokteran mata.
Pengukuhan dan Orasi Ilmiah
Rapat Paripurna Senat Terbuka Luar Biasa Unhas dipimpin langsung oleh Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa. Selain Prof. Habibah, tiga guru besar lainnya juga dikukuhkan, yaitu Prof. Tasrifin Tahara, Prof. Muhammad Iqbal Djawad, dan Prof. Muhammad Akbar. Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul 'Upaya Pencegahan Kebutaan Akibat Diabetik Retinopati dalam Menghadapi Bonus Demografi', Prof. Habibah menyoroti pentingnya upaya preventif dan kolaborasi lintas sektor untuk mencegah kebutaan, terutama pada generasi usia produktif.
Prof. Habibah, yang juga menjabat sebagai Ketua Prodi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Unhas, menekankan bahwa bonus demografi Indonesia (2020-2030) merupakan peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, potensi ini bisa terhambat jika kesehatan masyarakat, termasuk kesehatan mata, tidak terjaga dengan baik. Kesehatan mata sangat vital karena penglihatan berperan besar dalam aktivitas sehari-hari; indra penglihatan menangkap 80 persen informasi yang kita terima.
Ancaman Retinopati Diabetik
Salah satu ancaman utama kesehatan mata adalah retinopati diabetik (RD), komplikasi serius diabetes melitus (DM) yang dapat menyebabkan kebutaan. Data International Diabetes Federation (IDF) 2021 menunjukkan sekitar 10,8 persen penduduk Indonesia mengidap DM, dan sekitar 43,1 persen di antaranya berpotensi mengalami RD. Angka ini sangat mengkhawatirkan, mengingat RD merupakan penyebab utama kebutaan pada usia 20-64 tahun di dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat RD menyebabkan kebutaan pada 4,8 persen dari 39 juta penderita buta global, dengan prevalensi mencapai 34,6 persen. Di Indonesia, prevalensi RD mencapai 43,1 persen, dengan 26,1 persen mengalami RD yang mengancam penglihatan. RD merupakan komplikasi diabetes kedua terbanyak di Indonesia setelah nefropati. Mayoritas penderita diabetes berada di negara berkembang dengan pendapatan rendah, termasuk Indonesia, dan penatalaksanaan diabetes serta deteksi dini RD masih perlu ditingkatkan.
Situasi di Sulawesi Selatan
Situasi RD di Sulawesi Selatan (Sulsel) juga perlu mendapat perhatian serius. Dengan populasi sekitar 9,4 juta jiwa, prevalensi DM di Sulsel mencapai 7,4 persen atau sekitar 695.600 penderita. Berdasarkan studi yang dilakukan antara Juli 2023 dan Juni 2024 di RS Unhas dan Klinik Utama Mata JEC Orbita Makassar, tercatat 271 pasien RD menjalani operasi vitrektomi, dengan 5,53 persen di antaranya berusia di bawah 30 tahun. Fakta ini menunjukkan pentingnya deteksi dan penanganan dini.
Pentingnya Deteksi Dini dan Pencegahan
Prof. Habibah menekankan pentingnya skrining dan pelatihan bagi dokter dan perawat untuk mendeteksi dini RD. Beliau juga menyoroti pentingnya kerja sama dengan dokter penyakit dalam dan anak, karena DM juga dapat terjadi pada anak-anak. Medical check-up secara berkala sangat penting, terutama bagi penderita DM, untuk memantau kondisi kesehatan mata dan mencegah komplikasi serius seperti RD. Dengan deteksi dini dan penanganan yang tepat, kebutaan akibat RD dapat dicegah, dan kualitas hidup penderita diabetes dapat ditingkatkan.
"Pasien saya itu 40 orang, rata-rata 30 orang itu RD dan umumnya kondisi sangat jelek. Sebenarnya hal itu tidak boleh terjadi kalau kita melakukan skrining kontrol dari awal. Makanya, kita berupaya melakukan skrining serta pelatihan dokter dan perawat kerja sama dengan dokter penyakit dalam dan anak, karena DM juga ada pada anak. Upayanya sama-sama deteksi dini, kan hanya sekali setahun. Medical cek up juga penting sekali dilakukan, ketika DM langsung kontrol," ujar Prof. Habibah.