Seni Berkomunikasi: Kunci Kepemimpinan di Era Digital
Sejarah membuktikan, pemimpin yang memahami seni berkomunikasi dengan rakyatnya akan membangun kepercayaan dan menghindari konsekuensi buruk; bagaimana pemimpin masa kini dapat menerapkannya di era digital?

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Artikel ini membahas pentingnya komunikasi efektif antara pemimpin dan rakyat, menganalisis bagaimana komunikasi yang buruk dapat berujung pada bencana seperti Revolusi Prancis, dan sebaliknya, bagaimana komunikasi yang baik dapat menyelamatkan situasi krisis seperti yang dilakukan Franklin D. Roosevelt dan Jacinda Ardern. Artikel ini juga mengeksplorasi peran media sosial dalam komunikasi publik di era modern, berdasarkan penelitian Dedi Supriyanto dari Universitas Jenderal Sudirman, dan menyoroti pentingnya komunikasi dua arah yang jujur dan empatik dalam membangun kepercayaan publik. Artikel ini ditulis oleh Hanni Sofia dan diedit oleh Masuki M Astro, dipublikasikan pada 30 Maret.
Ungkapan 'Vox populi, vox Dei' atau 'Suara rakyat adalah suara Tuhan' seringkali digunakan untuk menekankan pentingnya mendengarkan kehendak rakyat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa mengabaikan suara rakyat dapat berakibat fatal. Kegagalan berkomunikasi secara efektif dengan rakyat bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal bagaimana menyampaikannya, memastikan rakyat merasa didengar dan dipahami.
Ketidakmampuan pemimpin untuk memahami dan merespon kebutuhan rakyat dapat memicu berbagai reaksi, mulai dari apatisme dan skeptisme hingga amarah yang dapat mengancam stabilitas pemerintahan. Contohnya, Revolusi Prancis yang dipicu oleh ketidakpedulian Raja Louis XVI terhadap penderitaan rakyatnya, menjadi bukti nyata konsekuensi dari komunikasi yang buruk. Kegagalan berkomunikasi berujung pada runtuhnya monarki dan jatuhnya ribuan nyawa.
Komunikasi Efektif: Pelajaran dari Sejarah
Berbeda dengan Louis XVI, Franklin D. Roosevelt, melalui Fireside Chats-nya, berhasil membangun kembali kepercayaan rakyat Amerika Serikat di tengah Depresi Besar. Ia berkomunikasi dengan bahasa sederhana dan empatik, membuat rakyat merasa didengar dan diperjuangkan. Hal serupa juga dilakukan oleh Kaisar Hirohito pasca Perang Dunia II melalui pidato Jewel Voice Broadcast, yang menandai perubahan besar dalam hubungan antara pemimpin dan rakyat Jepang.
Kepemimpinan Roosevelt dan Hirohito menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang jujur dan empatik dalam membangun kepercayaan publik, bahkan di tengah krisis. Mereka mampu menyampaikan pesan yang kompleks dengan cara yang mudah dipahami dan menyentuh hati rakyat.
Contoh lain adalah Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, yang berhasil memimpin negaranya melewati pandemi dengan komunikasi yang tegas namun manusiawi. Ia berbicara dengan empati, mengakui kesulitan yang dihadapi rakyat, dan menunjukkan bahwa mereka akan melewati masa sulit tersebut bersama-sama.
Era Digital dan Tantangan Komunikasi Publik
Di era digital saat ini, lanskap komunikasi telah berubah drastis. Rakyat memiliki akses yang lebih mudah ke berbagai platform media sosial, seperti Twitter (X), Facebook, dan TikTok, untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka. Penelitian Dedi Supriyanto (2024) menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah di media sosial dapat menjadi alat penting dalam membangun kepercayaan publik, dengan catatan pemerintah aktif berinteraksi, menjawab keluhan, dan membagikan informasi secara terbuka.
Namun, banyak pemimpin yang masih melihat komunikasi sebagai sekadar pernyataan resmi. Kalimat-kalimat klise seperti “Situasi sedang kami evaluasi” atau “Pemerintah berkomitmen untuk menangani situasi ini” seringkali tidak cukup untuk menenangkan rakyat yang sedang dilanda keresahan.
Rakyat membutuhkan pemimpin yang hadir, yang berbicara langsung, dan yang benar-benar memahami keresahan mereka. Mereka membutuhkan komunikasi yang jujur, empatik, dan dua arah.
Kesimpulan
Seni berkomunikasi dengan rakyat merupakan kunci kepemimpinan yang efektif. Dari sejarah, kita belajar bahwa komunikasi yang baik bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal memahami siapa yang diajak bicara, mengutamakan kejujuran, membangun dialog, dan mendengar langsung suara rakyat. Pemimpin yang mampu membangun jembatan kepercayaan dengan rakyatnya akan mampu memimpin dengan lebih efektif dan menghindari konsekuensi buruk dari komunikasi yang buruk.