Sepak Bola Indonesia: Jalan Panjang Menuju Industri Profesional
Pengamat sepak bola, Bung Kus, menilai industri sepak bola Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama masalah keuangan klub yang bergantung pada pemilik dan investor, serta belum adanya regulasi pembatasan anggaran yang konsisten.

Pengamat sepak bola Mohamad Kusnaeni atau Bung Kus mengungkapkan bahwa perjalanan sepak bola Indonesia menuju industri profesional masih sangat panjang. Pernyataan ini disampaikannya di Jakarta, Selasa (21/11), menanggapi kesulitan finansial yang dialami sejumlah klub, seperti PSIS Semarang yang memiliki utang operasional hingga Rp45 miliar selama dua tahun terakhir.
Bung Kus menjelaskan, “Tidak mengejutkan jika banyak klub profesional yang mengaku masih merugi. Bahkan kerugian operasionalnya bisa puluhan miliar per tahun.” Ia menambahkan bahwa mengikuti kompetisi Liga 1 membutuhkan anggaran lebih dari Rp50 miliar per tahun, sementara pendapatan klub hanya berkisar Rp25-50 miliar. Situasi ini menciptakan dilema bagi klub dalam mengelola keuangan.
Menjalankan klub dengan anggaran lebih kecil memang mungkin, tetapi akan berdampak pada kualitas pemain yang direkrut. Akibatnya, klub akan kesulitan bersaing dan manajemen akan menghadapi tekanan dari pendukung. Bung Kus menyebutnya sebagai masalah 'ayam dan telur', di mana sulit menentukan prioritas antara pengelolaan keuangan dan perekrutan pemain berkualitas.
Praktisnya, kondisi keuangan klub sangat bergantung pada kekuatan finansial pemilik atau investor. Kualitas tata kelola atau profesionalisme manajemen belum sepenuhnya menjadi penentu utama. Berbeda dengan beberapa liga profesional lain yang menerapkan peraturan financial fair play atau pembatasan anggaran untuk menciptakan persaingan yang lebih seimbang.
Wacana pembatasan anggaran sebenarnya telah lama muncul di Liga 1. Namun, hingga kini belum ada implementasi yang serius. Bung Kus menyimpulkan, “Apa boleh buat, sekarang tinggal kejelian masing-masing klub dalam mengoptimalkan sumber daya yang mereka punya. Ketika titik optimal itu sudah terlampaui, biasanya klub tinggal berpasrah diri menerima kenyataan.”
Kesimpulannya, industri sepak bola Indonesia masih menghadapi kendala besar di bidang finansial. Ketergantungan pada pemilik dan investor, serta kurangnya regulasi pembatasan anggaran, menjadi hambatan utama dalam mewujudkan profesionalisme di dunia sepak bola Indonesia. Tantangan ini memerlukan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk klub, pemerintah, dan asosiasi sepak bola.