Sistem Praperadilan Indonesia: Pakar Hukum Nilai Perlu Perbaikan
Para pakar hukum menilai sistem praperadilan di Indonesia perlu perbaikan untuk melindungi masyarakat dan memastikan proses peradilan yang adil, khususnya terkait waktu persidangan, alat bukti, dan penetapan tersangka.

Bandung, 24 Januari 2024 - Sistem praperadilan di Indonesia menjadi sorotan sejumlah pakar hukum. Mereka menilai sistem ini perlu perbaikan agar sesuai dengan tujuan awalnya: melindungi masyarakat dalam proses hukum. Perbaikan mendesak dibutuhkan untuk menjamin keadilan dan hak asasi manusia.
Dalam diskusi bertajuk 'Pra-Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia' di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Romli Atmasasmita, menyoroti ketidaksesuaian sistem praperadilan dengan hak-hak tersangka atau terdakwa. Romli menekankan hak tersangka atas kedudukan yang setara di hadapan hukum, perlakuan manusiawi, dan kebebasan dari penyiksaan. Namun, batas waktu persidangan praperadilan yang hanya tujuh hari, dan gugurnya praperadilan jika sudah masuk penyidikan pokok perkara, dinilai menghambat terwujudnya hal tersebut.
Romli menambahkan, "Seorang tersangka atau terpidana memiliki hak untuk diperiksa dalam pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum. Mereka juga memiliki hak untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan peradilan yang memiliki kekuatan hukum tetap." Sistem yang ada saat ini dinilai belum sepenuhnya menjamin hal tersebut.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Nandang Sambas. Ia menegaskan perlunya mengembalikan ruh praperadilan sebagai pelindung hak-hak warga negara. "Para penegak hukum harus memahami filosofi praperadilan, bahwa seseorang yang baru diduga melakukan tindak pidana, jangan diperlakukan semena-mena sehingga merampas hak-hak kemerdekaannya," tegas Nandang.
Akademisi Fakultas Hukum Unpad, Somawijaya, mencontohkan kasus praperadilan dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong (Thom Lembong) di PN Jakarta Selatan. Ia menilai hakim lebih fokus pada formalitas dua alat bukti tanpa mempertimbangkan relevansi alat bukti terhadap tindak pidana yang disangkakan. Somawijaya juga menyoroti kurangnya pengawasan terhadap penetapan tersangka dan prosedur administratif penahanan Thom Lembong yang dinilai tidak sah.
Lebih lanjut, Somawijaya menjelaskan, "Saya juga melihat kurangnya pengawasan terhadap proses penetapan tersangka. Hakim pada kasus Thom Lembong menilai penetapan tersangka didasarkan pada potential loss, yang menurut Putusan MK Nomoe 25/PUU-XIV/2016 tidak memenuhi syarat sebagai kerugian negara yang nyata." Kondisi ini, menurutnya, menunjukkan ketidakmampuan peradilan dalam menjamin perlindungan HAM.
Elis Rusmiati, akademisi Fakultas Hukum Unpad dan mantan Hakim Tipikor, mengakui adanya kelemahan dalam proses praperadilan. Ia menekankan pentingnya hakim untuk lebih berhati-hati dan cermat dalam memutus perkara, mempertimbangkan rasa keadilan, dan tidak hanya terpaku pada kuantitas bukti. Namun, beban kerja hakim tunggal, durasi waktu yang singkat, dan potensi gugur jika pemeriksaan pokok perkara dimulai, membuat hal ini sulit diwujudkan.
Nandang Sambas juga menekankan pentingnya alat bukti dalam proses peradilan, termasuk dalam kasus korupsi. Bukti harus mendukung unsur pidana korupsi, proses perolehannya harus jelas, dan harus dibuktikan adanya unsur perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Proses memperoleh alat bukti sebagai bukti awal perlu diuji kebenaran, kehati-hatian, dan keprofesionalannya melalui mekanisme lembaga praperadilan.
Kesimpulannya, para pakar hukum sepakat bahwa perbaikan sistem praperadilan sangat penting. Perbaikan ini harus fokus pada penjaminan hak asasi manusia, proses peradilan yang adil, penilaian substansi kasus, bukan hanya formalitas, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap proses penetapan tersangka. Dengan demikian, sistem praperadilan dapat benar-benar berfungsi melindungi masyarakat dan menegakkan hukum secara berkeadilan.