RUU KUHAP: Penguatan Perlindungan HAM dan Peran Advokat
RUU KUHAP yang tengah dibahas DPR RI diharapkan memperkuat perlindungan HAM, khususnya bagi saksi dan korban, serta meningkatkan peran advokat dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi sorotan utama, menandai langkah signifikan dalam reformasi sistem peradilan pidana Indonesia. RUU ini disusun untuk menjawab berbagai kelemahan KUHAP 1981 dan mengakomodasi aspirasi masyarakat, khususnya terkait perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembahasan RUU KUHAP digulirkan Komisi III DPR RI pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, dengan target implementasi bersamaan dengan KUHP Nasional pada 1 Januari 2026. RUU ini diharapkan menciptakan keseimbangan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), mewujudkan kebenaran materiel dan formal demi keadilan. RUU ini juga diharapkan menjadi warisan berharga pemerintahan Presiden Prabowo dan DPR RI periode 2024-2029.
Salah satu poin penting dalam RUU KUHAP adalah penguatan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Mekanisme ini akan diintegrasikan ke seluruh proses hukum, mulai penyidikan hingga persidangan, dengan fokus utama pemulihan kerugian korban, bukan hanya penjatuhan hukuman pada pelaku. Hal ini sejalan dengan semangat konstitusi, menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, bukan negara yang didasarkan pada kekuasaan semata.
Penguatan Peran Advokat dalam RUU KUHAP
RUU KUHAP secara signifikan meningkatkan peran advokat dalam melindungi HAM. Sebelumnya, dalam KUHAP 1981, peran advokat terbatas pada pendampingan tersangka dan terdakwa. Namun, RUU KUHAP memungkinkan advokat untuk mendampingi saksi dan korban, memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif.
Ketidakjelasan perlindungan hukum bagi saksi dalam KUHAP 1981 menjadi salah satu kekurangan yang signifikan. Saksi seringkali menghadapi ancaman, tekanan, atau intimidasi tanpa perlindungan hukum yang memadai. RUU KUHAP ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan memberikan hak kepada saksi untuk didampingi oleh penasihat hukum, bukan hanya sekedar menjadi pencatat dan pendengar seperti sebelumnya.
Dengan adanya pendampingan hukum, saksi dapat memberikan kesaksian secara jujur dan bebas tanpa rasa takut. Advokat dapat mengajukan keberatan jika terjadi intimidasi atau pelanggaran hak asasi manusia selama pemeriksaan. Hal ini penting untuk memastikan kualitas persidangan dan tercapainya keadilan.
Lebih lanjut, RUU KUHAP juga mengatur penggunaan kamera pengawas dalam setiap pemeriksaan untuk mencegah kekerasan atau penyiksaan. Ini merupakan langkah nyata dalam upaya mewujudkan proses hukum yang lebih manusiawi dan berkeadilan.
Keseimbangan Peran Lembaga Penegak Hukum
RUU KUHAP dirancang untuk menjaga keseimbangan peran masing-masing lembaga penegak hukum. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa RUU ini tidak mengubah kewenangan, tugas pokok, dan fungsi institusi penegak hukum. Diferensiasi fungsional antara penyidik dan jaksa tetap dipertahankan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.
RUU ini mendorong kolaborasi antar lembaga penegak hukum, menciptakan sistem peradilan pidana terpadu yang lebih efektif dan efisien. Setelah RUU KUHAP disahkan, langkah selanjutnya adalah membahas lex specialis, seperti Undang-Undang Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Advokat, untuk memastikan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
RUU KUHAP merupakan langkah penting dalam mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Dengan memperkuat perlindungan HAM dan peran advokat, RUU ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menegakkan prinsip negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Perlindungan saksi dan korban, serta penegakan prinsip equality before the law, menjadi fokus utama dalam upaya menciptakan sistem peradilan yang berkeadilan dan bermartabat. RUU KUHAP diharapkan menjadi tonggak sejarah dalam reformasi hukum acara pidana di Indonesia.