Komnas HAM Dorong RKUHAP Jawab Persoalan Mendasar Peradilan Pidana
Komnas HAM meminta RKUHAP menjawab persoalan mendasar peradilan pidana, termasuk perlindungan hak kelompok rentan dan asas praduga tak bersalah.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menekankan pentingnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) untuk menjawab berbagai persoalan mendasar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. RKUHAP diharapkan mampu menjamin proses hukum yang adil dan melindungi hak-hak kelompok rentan. Hal ini disampaikan oleh Anggota Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam keterangan resminya di Jakarta.
Atnike menjelaskan bahwa pembaruan KUHAP harus mampu mengatasi masalah-masalah yang selama ini terjadi dalam praktik peradilan pidana. Beberapa masalah tersebut antara lain adalah pengabaian terhadap prinsip due process of law (proses hukum yang adil), presumption of innocence (praduga tak bersalah), serta perlindungan terhadap hak-hak kelompok rentan. Komnas HAM berkomitmen untuk terus mengkaji dan memberikan rekomendasi konstruktif dalam pembaruan hukum acara pidana yang berbasis HAM.
Komnas HAM menyambut baik langkah DPR RI yang tidak tergesa-gesa dalam membahas KUHAP baru. Langkah ini dinilai sejalan dengan prinsip negara hukum yang demokratis dan menjadi bagian penting dari upaya demokratisasi hukum serta penguatan sistem peradilan pidana yang menjunjung tinggi prinsip HAM.
Fokus Kajian RUU KUHAP oleh Komnas HAM
Komnas HAM telah melakukan kajian terhadap RUU KUHAP sejak tahun 2023 dan terus berlanjut hingga saat ini. Kajian tersebut berfokus pada perkembangan peraturan pidana dan mengidentifikasi sejumlah pokok pengaturan peradilan pidana yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Beberapa aspek yang menjadi atensi Komnas HAM dan diusulkan untuk diubah meliputi penyelidikan, penyidikan, upaya paksa, dan praperadilan.
Selain itu, Komnas HAM juga menyoroti pentingnya keadilan restoratif, hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban. Hak-hak kelompok disabilitas, perempuan, dan lansia juga menjadi perhatian utama dalam kajian ini. Aspek-aspek lain yang turut dikaji adalah bantuan hukum, upaya hukum, serta pembuktian dan konektivitas.
Atnike berharap kajian ini dapat menjadi rujukan bagi DPR RI dalam mengidentifikasi berbagai tantangan serta merumuskan rekomendasi yang konstruktif. Tujuannya adalah untuk mewujudkan pembaruan hukum acara pidana yang berbasis pada prinsip-prinsip HAM.
Urgensi Penyesuaian KUHAP dengan KUHP Baru
KUHAP yang berlaku saat ini, yaitu KUHAP Tahun 1981, masih berlandaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama. Komnas HAM menilai bahwa penyesuaian perlu dilakukan mengingat telah disahkannya KUHP baru pada tahun 2023, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
“Diperlukan penyesuaian agar aturan prosedural dalam KUHAP selaras dengan substansi dalam KUHP baru. Terlebih, KUHAP 1981 dirasa tidak dapat lagi mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis karena perkembangan dan pengaruh teknologi,” kata Atnike.
Pembaruan KUHAP juga dianggap sebagai momentum untuk membangun sistem peradilan pidana yang lebih adil, akuntabel, transparan, dan humanis. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Komnas HAM berkomitmen untuk memberikan kontribusi berbasis data, analisis hukum, dan prinsip-prinsip HAM agar RUU KUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang tidak hanya prosedural, tetapi juga transformatif. Hukum acara pidana yang baru harus dapat menjamin hak semua pihak dalam proses pidana, termasuk tersangka, terdakwa, korban, saksi, maupun kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan lansia.
Oleh sebab itu, Komnas HAM berkomitmen memberikan kontribusi berbasis data, analisis hukum, dan prinsip-prinsip HAM agar RUU KUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang tidak hanya prosedural, tetapi juga transformatif.