Solidaritas Masyarakat Jayapura Lawan HIV/AIDS: Kisah Nyata dari Gereja, Lembaga Sosial, dan Aktivis
Masyarakat Jayapura bersatu melawan penyebaran HIV/AIDS melalui edukasi, konseling, dan dukungan bagi pengidap, menunjukkan kisah nyata harapan dan solidaritas.

Jayapura, Papua, 05/03 (ANTARA) - Angka kasus HIV/AIDS di Jayapura yang tinggi, mencapai 8.864 dari total 20.512 kasus di seluruh Papua, menimbulkan keprihatinan. Namun, di tengah tantangan ini, kolaborasi berbagai lembaga dan masyarakat sipil di Jayapura menunjukkan semangat melawan penyebaran virus mematikan ini. Upaya edukasi dan konseling intensif diberikan kepada masyarakat, baik yang terinfeksi maupun yang belum terinfeksi HIV.
Pastor Dora Balubun, misalnya, secara konsisten mengingatkan jemaahnya tentang pentingnya menghindari perilaku berisiko yang dapat menularkan HIV/AIDS dalam setiap khotbahnya. Selain itu, peran orang tua dalam mengawasi pergaulan anak sangat ditekankan untuk mencegah perilaku seks bebas, mengingat tingginya angka infeksi HIV/AIDS pada usia muda (6.805 PLWHA berusia 1-25 tahun di seluruh Papua pada data 2024).
Sejak 2007, Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua melalui Departemen Pelayanan Kasih dan Keadilan aktif menggerakkan para pendeta untuk memberikan edukasi dan konseling. Para pendeta sendiri telah mendapatkan pelatihan dari lembaga teknis terkait HIV dan penyakit sosial lainnya, sehingga mereka memiliki pemahaman yang baik sebelum menyampaikan informasi kepada masyarakat. Gereja juga mendorong pemeriksaan HIV dan menyediakan rujukan pengobatan bagi yang terinfeksi ke fasilitas kesehatan terdekat yang menyediakan obat antiretroviral (ARV).
Peran Gereja dan Lembaga Sosial
“Konseling dan edukasi tentang dampak seks bebas harus terus dilakukan, terutama untuk generasi muda,” tegas Pastor Balubun. Ia berharap konseling yang dilakukan secara rutin dapat menekan angka kasus HIV. Keyakinan ini didasari optimisme bahwa edukasi melalui khotbah dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan mendorong mereka untuk menghindari perilaku berisiko serta setia pada pasangan. Bagi yang masih lajang, anjuran untuk menghindari seks bebas sangat ditekankan.
Selain gereja, lembaga sosial lainnya juga berperan penting. Gereja GKI memiliki tempat penampungan Wali Hole yang sebelumnya menampung PLWHA, namun saat ini ditutup sementara karena sedang dalam proses pembentukan yayasan untuk pengelolaannya. "Kami juga memberikan konseling bagi yang positif HIV, memberikan penguatan agar mereka mau minum ARV secara rutin. Obat ini bisa membantu mereka hidup sehat seperti biasa," jelas Pastor Balubun.
Agus Adil OFM, pimpinan tempat penampungan Surya Kasih yang saat ini membantu lima orang pengidap HIV, menekankan pentingnya penanganan HIV/AIDS secara kolaboratif. Menurutnya, selain konseling dan pemeriksaan, dukungan kesehatan mental dan pemantauan konsumsi ARV sangat penting untuk memastikan kualitas hidup PLWHA.
Dukungan untuk PLWHA dan Keluarga
Robert Sihombing, aktivis HIV/AIDS, mengakui pentingnya dukungan bagi PLWHA, terutama yang belum terbuka kepada keluarganya. Dukungan ini juga perlu diberikan kepada keluarga agar mereka dapat membantu tanpa risiko penularan. Salah satu contoh pentingnya dukungan adalah pada kasus ibu hamil PLWHA, dimana bantuan yang diberikan dapat mengurangi risiko penularan kepada bayi.
Sejak 2001, Sihombing mendirikan Jayapura Support Group (JSG) yang hingga kini masih aktif memberikan dukungan kepada 50 PLWHA dan edukasi tentang pentingnya konsumsi ARV rutin. Ia menyadari bahwa perubahan perilaku seksual sangat penting dalam mengendalikan penyebaran HIV.
Pentingnya ARV dan Edukasi
Konsumsi ARV secara rutin terbukti menurunkan viral load hingga tidak terdeteksi melalui tes PCR. Dalam kondisi ini, penularan HIV tidak lagi terjadi. Namun, penting untuk selalu mengingatkan PLWHA agar tetap rutin mengonsumsi ARV karena penghentian pengobatan dapat meningkatkan viral load.
Irma, salah satu PLWHA yang telah mengonsumsi ARV selama 22 tahun, menjadi contoh nyata. Meskipun virus HIV selalu ada dalam tubuhnya, ia tetap dapat menjalani aktivitas normal berkat pengobatan ARV yang membuat virus tidak terdeteksi. "Walaupun saya PLWHA, saya tetap bisa beraktivitas normal dan berdamai dengan virus ini," ujarnya. Ia berharap masyarakat tidak mengucilkan PLWHA.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura, dr. Ni Nyoman Sri Antari, menyatakan bahwa petugas kesehatan di seluruh puskesmas di Kota Jayapura dikerahkan untuk memberikan konseling tentang penularan dan bahaya HIV/AIDS, serta penanganan melalui konsumsi ARV. Beberapa kasus PLWHA yang menikah dengan pasangan non-PLWHA menunjukkan bahwa pasangan tetap negatif HIV berkat konsumsi ARV yang rutin.
Upaya kolaboratif dari berbagai pihak di Jayapura dalam memerangi HIV/AIDS menunjukkan sebuah harapan. Komitmen untuk memberikan edukasi, konseling, dan dukungan bagi PLWHA serta keluarga mereka menjadi kunci keberhasilan dalam mengurangi angka kasus dan meningkatkan kualitas hidup pengidap HIV/AIDS.