Tahukah Anda Solusi Sengketa Ambalat? Pakar UGM Sebut Pengelolaan Bersama Kunci Penyelesaian Batas Laut Indonesia-Malaysia
Pakar UGM I Made Andi Arsana mengemukakan solusi pengelolaan bersama untuk menyelesaikan sengketa Ambalat antara Indonesia dan Malaysia. Apa alasannya?

Sengketa batas laut di kawasan Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali menjadi sorotan. Konflik ini telah berlangsung selama puluhan tahun, menciptakan ketegangan di antara kedua negara serumpun. Namun, sebuah solusi potensial kini mengemuka dari kalangan akademisi.
Pakar geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, mengusulkan pengelolaan bersama sebagai jalan tengah. Menurutnya, opsi ini dapat menjadi alternatif jika penetapan garis batas maritim permanen sulit dicapai. Usulan ini sejalan dengan pembicaraan yang sempat dilakukan oleh Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim.
Kawasan yang disengketakan ini berada di Laut Sulawesi, tepatnya di sebelah timur Pulau Kalimantan. Sengketa bermula karena batas darat Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik tidak diteruskan ke laut. Hal ini menyebabkan pembagian ruang laut di area tersebut belum final dan memicu klaim tumpang tindih.
Sejarah dan Klaim Tumpang Tindih di Ambalat
Indonesia awalnya berpandangan bahwa garis batas darat di Pulau Sebatik semestinya diteruskan ke arah timur pada lintang 4 derajat 10 menit. Dengan demikian, seluruh wilayah di selatan garis tersebut akan menjadi milik Indonesia. Namun, pandangan ini merupakan klaim sepihak dan bukan kesepakatan resmi dengan Malaysia.
Sejak tahun 1960-an, Indonesia telah melakukan klaim atas dasar laut di Laut Sulawesi melalui penetapan blok konsesi eksplorasi dan eksploitasi minyak. Contohnya adalah blok-blok yang ditetapkan pada tahun 1966 dan 1970. Langkah ini menunjukkan upaya Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya di wilayah tersebut.
Di sisi lain, Malaysia juga mengajukan klaimnya melalui peta baru yang diterbitkan pada tahun 1979. Peta ini memicu protes keras dari Indonesia karena dianggap terlalu ekspansif dan mengabaikan klaim Indonesia. Ketegangan semakin meningkat akibat perbedaan interpretasi batas wilayah maritim.
Meskipun ada protes dari Malaysia, Indonesia tetap menetapkan blok-blok lain seperti Sebawang dan Bukat. Puncaknya, pada tahun 1999, Indonesia menetapkan Blok Ambalat, diikuti dengan Blok Ambalat Timur pada tahun 2004. Perlu dicatat bahwa Ambalat adalah nama blok dasar laut, bukan nama kawasan laut secara keseluruhan.
Peran Pulau Sipadan-Ligitan dan Pandangan Malaysia
Ketegangan antara kedua negara memuncak pada tahun 2005 ketika Malaysia menetapkan blok konsesi ND6 dan ND7. Lokasi blok-blok ini tumpang tindih dengan Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang telah ditetapkan Indonesia. Bagian dari keempat blok ini berada dalam area tumpang tindih yang menjadi pangkal sengketa.
Andi Arsana menambahkan bahwa sengketa ini juga terkait dengan posisi Pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau kecil tersebut kini menjadi milik Malaysia berdasarkan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002. Menurut Indonesia, kedua pulau tersebut hanya berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut.
Dengan pandangan tersebut, Indonesia mengusulkan garis batasnya sendiri. Sementara itu, Malaysia tetap berpegang teguh pada peta tahun 1979 yang telah mereka terbitkan. Perbedaan mendasar dalam interpretasi hukum laut dan sejarah klaim menjadi penghalang utama penyelesaian sengketa.
Pemerintah Malaysia sendiri menyebut wilayah maritim yang mencakup Blok ND6 dan ND7 sebagai Laut Sulawesi, bukan Ambalat. Menteri Luar Negeri Malaysia, Dato' Seri Mohamad Hasan, menyatakan bahwa putusan ICJ tahun 2002 tentang kedaulatan Kepulauan Sipadan dan Ligitan semakin memperkuat posisi maritim Malaysia di Laut Sulawesi. Ia menekankan pentingnya penggunaan terminologi yang benar sesuai kedaulatan Malaysia.
Pengelolaan Bersama: Solusi Ideal atau Alternatif?
Malaysia menyatakan komitmennya untuk melindungi kedaulatan, hak berdaulat, dan kepentingannya sesuai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Mereka menegaskan bahwa semua pembahasan mengenai sengketa ini akan dilakukan melalui mekanisme diplomatik, hukum, dan teknis dalam kerangka kerja bilateral yang telah ditetapkan.
Andi Arsana menekankan bahwa meskipun idealnya kedua negara berhasil menetapkan batas maritim berupa garis permanen, pengelolaan bersama adalah alternatif yang realistis. Opsi ini memungkinkan kedua negara untuk tetap memanfaatkan sumber daya di area sengketa tanpa harus menunggu penetapan batas definitif. Ini juga dapat mengurangi potensi konflik di masa depan.
Konsep pengelolaan bersama telah diterapkan di beberapa wilayah sengketa maritim lainnya di dunia. Pendekatan ini memungkinkan negara-negara yang bersengketa untuk bekerja sama dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Hal ini juga dapat membangun kepercayaan dan mempererat hubungan diplomatik di antara mereka.
Dengan demikian, usulan pengelolaan bersama untuk sengketa Ambalat menawarkan jalan keluar yang pragmatis. Ini membuka peluang bagi Indonesia dan Malaysia untuk mengubah potensi konflik menjadi kerja sama. Solusi ini diharapkan dapat membawa stabilitas dan kemakmuran bagi kedua negara di kawasan Laut Sulawesi.