TAUD Nilai Laporan Ricuh Rapat RUU TNI sebagai Kriminalisasi
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menilai pelaporan terhadap Andrie Yunus dan Javier Pandin terkait kericuhan dalam rapat RUU TNI sebagai kriminalisasi atas kebebasan berekspresi dan pengawasan publik.

Jakarta, 18 Maret 2024 - Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menyatakan bahwa pelaporan terhadap Andrie Yunus dan Javier Pandin ke Polda Metro Jaya terkait kericuhan dalam rapat pembahasan Revisi Undang-Undang TNI merupakan tindakan kriminalisasi. Kejadian ini bermula pada Sabtu, 15 Maret 2024, di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, saat berlangsungnya rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI. Laporan tersebut diajukan oleh seorang sekuriti hotel, RYR, yang menyaksikan aksi protes Andrie dan Javier.
Anggota TAUD, Arif Maulana, mengungkapkan kecurigaan kuat bahwa pelaporan ini bertujuan membungkam kebebasan berekspresi dan hak politik masyarakat untuk berpartisipasi serta mengawasi proses penyusunan regulasi. Ia menyebutnya sebagai bentuk 'strategic lawsuit against public participation' (SLAPP), sebuah upaya hukum yang disalahgunakan untuk membatasi partisipasi publik.
TAUD menilai laporan tersebut keliru dan tidak berdasar hukum. Arif menjelaskan, menyampaikan pendapat dan ekspresi politik merupakan hak konstitusional warga negara dan bukan merupakan tindakan kriminal. Andrie dan Javier, menurut Arif, hanya menggunakan haknya sebagai warga negara untuk mengawasi proses legislasi yang dianggap tidak demokratis, tertutup, dan berpotensi mengembalikan dwifungsi militer.
Tuduhan Kriminalisasi dan Hak Konstitusional
Arif Maulana memaparkan beberapa alasan mengapa TAUD menilai laporan tersebut keliru. Pertama, Andrie dan Javier hanya menggunakan hak konstitusional mereka untuk mengawasi proses legislasi yang dianggap menyimpang. Mereka memprotes rapat yang dinilai tertutup dan tidak transparan, serta berpotensi memperkuat agenda yang dinilai berbahaya bagi masa depan masyarakat, yaitu dwifungsi militer.
Kedua, TAUD melihat laporan tersebut sebagai upaya pembungkaman suara kritis masyarakat. Aksi protes yang dilakukan Andrie dan Javier merupakan bagian dari partisipasi publik dalam mengawasi proses pembentukan kebijakan. Dengan melaporkan mereka, pihak pelapor dinilai telah menghalangi partisipasi publik yang merupakan pilar penting dalam demokrasi.
Ketiga, TAUD menyoroti kurangnya dasar hukum yang kuat dalam laporan tersebut. Aksi protes yang dilakukan, meskipun mungkin dianggap mengganggu ketertiban, tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. TAUD berpendapat bahwa hak untuk menyampaikan pendapat dan mengawasi pemerintah harus dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Tanggapan Polda Metro Jaya dan Kronologi Kejadian
Polda Metro Jaya telah mengkonfirmasi penerimaan laporan tersebut. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum, perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan, dan atau penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum. Laporan tersebut diajukan oleh sekuriti Hotel Fairmont, RYR.
Menurut keterangan Ade Ary, sekitar pukul 18.00 WIB, tiga orang yang mengaku dari Koalisi Masyarakat Sipil memasuki Hotel Fairmont dan berteriak di depan ruang rapat, meminta agar rapat dihentikan karena dianggap dilakukan secara diam-diam dan tertutup. Aksi protes inilah yang kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian.
TAUD menegaskan kembali komitmennya untuk membela hak-hak warga negara dalam berekspresi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Mereka akan terus mengawal kasus ini dan memastikan agar Andrie dan Javier mendapatkan keadilan. TAUD berharap agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan partisipasi publik dalam proses legislasi di Indonesia.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan penting tentang batas kebebasan berekspresi dan hak untuk mengawasi pemerintah dalam konteks proses legislasi. Bagaimana seharusnya masyarakat berpartisipasi dalam proses pembuatan undang-undang tanpa menghadapi risiko kriminalisasi? Perdebatan ini akan terus berlanjut, dan kasus ini akan menjadi sorotan penting dalam diskusi mengenai demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.