Terungkap! 11 WNA Menyamar Polisi Wuhan di Jakarta, Polisi Kesulitan Bongkar Jaringan Penipuan Internasional
Kasus penipuan daring yang melibatkan 11 WNA menyamar polisi Wuhan di Jakarta Selatan sulit diungkap karena para pelaku tidak kooperatif, menghambat penyelidikan.

Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan menghadapi kendala serius dalam mengungkap kasus penipuan daring berskala internasional. Sebanyak sebelas warga negara asing (WNA) asal Republik Rakyat China (RRC) yang ditangkap karena menyamar sebagai polisi Distrik Wuhan, menolak memberikan keterangan. Mereka ditangkap di sebuah rumah di Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Kamis (24/7).
Para pelaku diduga kuat terlibat dalam sindikat penipuan internasional yang beroperasi melalui panggilan video. Modus operandi mereka melibatkan penyamaran sebagai aparat kepolisian Wuhan untuk mengelabui korban. Penangkapan ini dilakukan setelah adanya indikasi kuat aktivitas mencurigakan di lokasi tersebut.
Konferensi pers yang digelar pada Rabu (30/7) oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Polisi Nicolas Ary Lilipaly, mengungkapkan betapa sulitnya proses penyelidikan. Para pelaku kompak bungkam, menyulitkan aparat untuk menggali informasi mengenai jaringan, korban, dan motif di balik aksi penipuan ini.
Tantangan Penyelidikan Kasus Penipuan Internasional
Pihak kepolisian mengakui bahwa penyelidikan kasus ini menghadapi hambatan signifikan. Para pelaku menunjukkan sikap tidak kooperatif, memilih untuk "gerakan tutup mulut" dan menolak memberikan informasi yang relevan. Kondisi ini mempersulit aparat dalam memetakan jaringan penipuan yang diduga sangat terorganisir.
Selain sikap non-kooperatif, kendala bahasa juga menjadi faktor penghambat. Kesebelas WNA tersebut mengaku hanya bisa berbahasa Mandarin, sementara mereka tidak menguasai bahasa Inggris maupun Indonesia. Hal ini memaksa penyidik untuk mencari penerjemah, memperlambat proses interogasi dan pengumpulan data.
Lebih lanjut, ketiadaan dokumen keimigrasian yang sah dari para pelaku juga menambah kompleksitas kasus. Kondisi ini sempat menghambat proses penangkapan dan identifikasi awal. Pihak kepolisian menduga bahwa ini adalah modus standar sindikat penipuan, di mana pelaku akan selalu bungkam jika tertangkap.
Untuk mengatasi kesulitan ini, Kepolisian Metro Jakarta Selatan telah berkoordinasi dengan pihak Imigrasi Jakarta Selatan. Kerja sama ini bertujuan untuk melacak identitas para pelaku serta mengidentifikasi potensi korban, termasuk kemungkinan adanya warga negara Indonesia yang terlibat dalam jaringan atau menjadi korban penipuan ini.
Modus Operandi dan Barang Bukti yang Diamankan
Sindikat ini menjadikan sebuah rumah di Lebak Bulus, Cilandak, sebagai markas operasi penipuan daring mereka. Dari lokasi tersebut, para pelaku melakukan penyamaran sebagai polisi Distrik Wuhan dan melancarkan aksinya melalui panggilan video. Pemilihan Indonesia sebagai basis operasi masih menjadi pertanyaan yang didalami oleh pihak berwenang.
Dalam penggerebekan, aparat berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang menguatkan dugaan penipuan. Barang bukti tersebut meliputi satu setel pakaian seragam Kepolisian RRC yang digunakan untuk penyamaran, serta dokumen-dokumen berbahasa Mandarin yang diduga terkait dengan skema penipuan mereka.
Selain itu, ditemukan pula perangkat elektronik yang digunakan dalam melancarkan aksi penipuan. Sebanyak 27 unit telepon seluler, 10 unit iPad dengan berbagai tipe, dan satu unit laptop disita dari lokasi kejadian. Perangkat-perangkat ini diduga kuat menjadi sarana utama komunikasi dan operasional sindikat penipuan daring tersebut.
Jeratan Hukum dan Imbauan kepada Masyarakat
Atas perbuatannya, kesebelas WNA tersebut dijerat dengan berbagai pasal hukum yang berlaku di Indonesia. Mereka disangkakan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal ini berkaitan dengan penyebaran informasi yang tidak benar atau menyesatkan.
Selain itu, para pelaku juga dijerat dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindak pidana penipuan. Aspek keimigrasian juga menjadi fokus penjeratan hukum, dengan sangkaan Pasal 78 (melebihi izin tinggal atau overstay), Pasal 113 (masuk wilayah Indonesia tanpa visa), Pasal 116 (tidak dapat menunjukkan dokumen keimigrasian), dan Pasal 122 (penyalahgunaan izin tinggal) dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Kepolisian mengimbau kepada masyarakat, khususnya warga negara Indonesia, yang merasa telah menjadi korban dari sindikat penipuan ini untuk segera melapor. Laporan dari korban sangat penting agar aparat dapat menindaklanjuti kasus ini secara komprehensif dan memberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.