Tuntutan 1 Tahun Penjara untuk Dua WNA Rusia Kasus Prostitusi Online di Bali
Dua warga negara Rusia dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Badung karena terlibat dalam kasus prostitusi daring internasional di Bali.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, Bagaimana? Dua warga negara Rusia, Anastasia Koveziuk (26) dan Maksim Tokarev (32), dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Badung, Bali, pada Kamis, 15 Mei 2025. Mereka terbukti bersalah terlibat dalam jaringan prostitusi daring internasional. Kasus ini terungkap setelah penggerebekan di sebuah apartemen di Jalan Berawa, Kabupaten Badung, pada 10 Januari 2025. Kedua terdakwa berperan sebagai operator situs prostitusi, merekrut, dan mengeksploitasi korban, seorang wanita asal Rusia. Modus operandi mereka melibatkan layanan prostitusi melalui Telegram, dengan pembayaran menggunakan berbagai metode, termasuk cryptocurrency.
Kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 4 ayat (2) Juncto Pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Sidang yang digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Denpasar menghasilkan tuntutan satu tahun penjara bagi masing-masing terdakwa. Putusan hakim masih dinantikan.
Kasus ini menyoroti kejahatan transnasional yang memanfaatkan teknologi digital untuk eksploitasi seksual. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk melindungi korban dan mencegah kejahatan serupa di masa mendatang. Peran serta masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan aktivitas mencurigakan juga sangat penting.
Jaringan Prostitusi Daring Internasional di Bali
Kedua terdakwa, Anastasia dan Maksim, terbukti menjadi operator situs prostitusi daring yang beroperasi di Bali dan Thailand. Mereka merekrut dan mengeksploitasi seorang wanita Rusia, yang disebut sebagai saksi Pamela, untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK).
Saksi Pamela melayani kencan dengan tarif Rp4 juta hingga Rp5,7 juta per kencan. Pembayaran diterima melalui berbagai metode, termasuk tunai, transfer bank atas nama Anastasia, dan cryptocurrency. Pembagian keuntungan dilakukan dengan skema 50 persen untuk Pamela, 40 persen untuk Anastasia, dan 10 persen untuk Maksim.
Anastasia juga berperan dalam menyediakan tempat tinggal untuk Pamela di sebuah apartemen dan melarang dia menginap di hotel lain. Hal ini menunjukkan kontrol dan eksploitasi yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap saksi.
Penggerebekan yang dilakukan oleh Polres Badung pada 10 Januari 2025 pukul 03.22 WITA berhasil membongkar operasi prostitusi daring ini dan menangkap kedua terdakwa.
Bukti dan Kesaksian yang Menguatkan Tuntutan
Tuntutan satu tahun penjara didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan selama penyelidikan. Bukti tersebut meliputi transaksi keuangan, komunikasi melalui Telegram, dan kesaksian dari saksi Pamela. Kesaksian Pamela memberikan detail tentang bagaimana operasi prostitusi dilakukan, termasuk tarif, metode pembayaran, dan pembagian keuntungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai bukti-bukti tersebut cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan kedua terdakwa dalam tindak pidana pornografi. Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan menyediakan jasa pornografi.
Dalam persidangan, kedua terdakwa terlihat mengenakan rompi merah dan tangan mereka diborgol. Hal ini menunjukkan status mereka sebagai tahanan selama proses hukum berlangsung. Sidang sendiri digelar secara tertutup.
Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana kejahatan transnasional, khususnya eksploitasi seksual, dapat memanfaatkan teknologi digital untuk beroperasi. Penting bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan kemampuan mereka dalam mendeteksi dan memberantas kejahatan tersebut.
Meskipun tuntutan satu tahun penjara telah dijatuhkan, putusan pengadilan masih dinantikan. Proses hukum akan terus berlanjut hingga putusan hakim final dibacakan.
Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual dan perlunya kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan transnasional.