Usulan UU Kebebasan Beragama: Langkah Kemenham Tanggapi Ancaman Demokrasi?
Kementerian HAM mengusulkan UU Kebebasan Beragama untuk mengatasi diskriminasi dan penurunan indeks demokrasi Indonesia, memicu perdebatan publik.

Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) baru-baru ini mengusulkan pembentukan Undang-Undang (UU) Kebebasan Beragama. Usulan ini muncul sebagai respons terhadap maraknya diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan agama di luar enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Usulan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri HAM, Natalius Pigai, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 11 Maret 2024. Pernyataan ini langsung memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan menimbulkan berbagai reaksi.
Menurut Menteri Pigai, UU Kebebasan Beragama lebih tepat dibandingkan UU Perlindungan Umat Beragama. Beliau berpendapat bahwa UU Perlindungan Umat Beragama justru seolah-olah mengakui adanya pembatasan kebebasan beragama. "Undang-Undang Kebebasan Beragama, bukan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Kenapa? Kalau Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama itu seakan-akan kita menerima fakta adanya pengekangan kebebasan beragama," jelas Menteri Pigai.
Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa negara tidak seharusnya membenarkan adanya ketidakadilan dalam praktik beragama. Oleh karena itu, Kementerian HAM mendorong UU Kebebasan Beragama untuk menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk memeluk dan menjalankan agamanya tanpa diskriminasi. "Ada undang-undang memproteksi, itu tidak boleh. Oleh karena itu, posisi kami adalah menginginkan Undang-Undang Kebebasan Beragama sehingga siapa pun anak bangsa bisa beragama," tegasnya.
Tanggapan Usulan dan Indeks Demokrasi
Meskipun demikian, Menteri Pigai mengakui bahwa usulan ini masih berupa wacana dan terbuka untuk diperdebatkan. Beliau menyatakan bahwa perbedaan pendapat dalam konteks demokrasi adalah hal yang wajar. "Silakan bila ada yang mau protes, tidak apa-apa. Ada yang tidak protes, tidak apa-apa. Kan boleh dong namanya juga demokrasi," ujarnya. Sikap terbuka ini menunjukkan komitmen Kementerian HAM untuk menerima masukan dan kritik dari berbagai pihak.
Usulan ini juga dikaitkan dengan penurunan angka indeks demokrasi Indonesia dalam The Democracy Index 2024 oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Kementerian HAM melihat bahwa UU Kebebasan Beragama dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan indeks demokrasi tersebut. Dengan menjamin kebebasan beragama, diharapkan Indonesia dapat menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Selain usulan UU Kebebasan Beragama, Kementerian HAM juga merekomendasikan revisi Peraturan Kapolri tentang ujaran kebencian dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Revisi peraturan dan undang-undang ini diharapkan dapat memperkuat kerangka hukum yang melindungi kebebasan berpendapat dan berorganisasi, serta menjamin proses demokrasi yang lebih inklusif.
Konteks dan Implikasi Usulan UU Kebebasan Beragama
Usulan UU Kebebasan Beragama ini memiliki konteks yang kompleks. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga memiliki beragam kelompok agama dan kepercayaan lainnya. Namun, dalam praktiknya, kelompok minoritas seringkali menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan intoleransi. UU Kebebasan Beragama diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi kelompok-kelompok tersebut.
Implikasi dari usulan ini sangat luas. UU Kebebasan Beragama dapat berdampak signifikan terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Di satu sisi, UU ini dapat menciptakan iklim yang lebih toleran dan inklusif. Di sisi lain, UU ini juga berpotensi menimbulkan perdebatan dan kontroversi, terutama terkait dengan penafsiran dan implementasinya. Oleh karena itu, diperlukan dialog dan diskusi yang intensif untuk mencapai kesepahaman dan konsensus.
Proses pembahasan dan pengesahan UU Kebebasan Beragama akan menjadi tantangan tersendiri. Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan, akademisi, dan masyarakat sipil, dalam proses tersebut. Partisipasi aktif dari semua pihak sangat penting untuk memastikan bahwa UU yang dihasilkan benar-benar dapat melindungi kebebasan beragama dan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Ke depan, perdebatan publik mengenai UU Kebebasan Beragama akan terus berlanjut. Namun, usulan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah diskriminasi dan intoleransi, serta meningkatkan indeks demokrasi Indonesia. Semoga proses pembahasannya dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan UU yang adil, bijaksana, dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.