Wamen ESDM Bantah Kenaikan Royalti Nikel Jadi 15 Persen
Wakil Menteri ESDM membantah kabar kenaikan royalti nikel menjadi 15 persen, meskipun sebelumnya Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan kekhawatiran akan hal tersebut.

Jakarta, 24 Januari 2024 - Kabar kenaikan royalti nikel dari 10 persen menjadi 15 persen langsung dibantah oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung. Pernyataan ini sekaligus menepis kekhawatiran yang sebelumnya disampaikan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Bantahan tersebut disampaikan Yuliot saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jakarta. Ia secara tegas menyatakan, "Kayaknya tidak ada kenaikan."
Senada dengan Yuliot, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, juga menyatakan belum menerima informasi terkait kenaikan royalti tersebut. "Saya belum dapat infonya, karena nggak di saya. Saya tidak ikut, jadi belum tau," ujarnya usai menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Klarifikasi kedua pejabat Kementerian ESDM ini muncul sebagai respons atas pernyataan Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey. Meidy sebelumnya menyampaikan kabar kenaikan royalti dalam rapat bersama Baleg DPR RI pada Rabu, 22 Januari 2024. Rapat tersebut membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba).
Dalam rapat tersebut, Meidy mengungkapkan, "Kemarin kami dapat isu lagi, royalti yang tadi saya sebut 10 persen akan naik 15 persen." Ia menambahkan bahwa kenaikan royalti ini akan membebani para penambang nikel, terlebih dengan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100 persen.
APNI juga menyoroti peningkatan biaya produksi dan penurunan harga jual nikel yang membuat banyak penambang enggan berproduksi. "Tambang yang dapat RKAB nggak mau produksi. Kenapa? Karena biaya produksi naik, tetapi penjualannya semakin turun," jelas Meidy.
Pernyataan yang saling bertolak belakang ini menimbulkan pertanyaan tentang sumber informasi yang berbeda dan perlu adanya kejelasan lebih lanjut untuk memastikan kepastian kebijakan terkait royalti nikel bagi para pelaku industri pertambangan.