Wamenkum Tegaskan Penanganan TPPO Wajib Primum Remedium, Bukan Ultimum Remedium
Wakil Menteri Hukum dan HAM tegaskan Penanganan TPPO harus menggunakan hukum pidana sebagai sarana utama (primum remedium), bukan upaya terakhir (ultimum remedium). Mengapa demikian?

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, yang akrab disapa Eddy, baru-baru ini memberikan penekanan penting terkait penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, ia mengingatkan seluruh aparat penegak hukum (APH) untuk tidak lagi menggunakan pendekatan hukum pidana yang bersifat ultimum remedium.
Eddy menegaskan bahwa dalam menghadapi kejahatan TPPO, hukum pidana tidak boleh dijadikan sebagai upaya terakhir. Sebaliknya, ia mendorong penggunaan pendekatan primum remedium, di mana hukum pidana menjadi sarana utama dan bersifat represif dalam penegakan hukum. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa TPPO adalah kejahatan khusus yang membutuhkan tindakan tegas tanpa toleransi.
Pernyataan ini disampaikan dalam Diskusi Publik Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang diselenggarakan di Jakarta. Penekanan pada pendekatan primum remedium ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelaku TPPO dapat ditindak secara maksimal, mengingat dampak buruk yang ditimbulkan oleh kejahatan ini terhadap korban dan masyarakat.
Primum Remedium: Pendekatan Utama dalam Penanganan TPPO
Konsep ultimum remedium dalam hukum pidana merujuk pada prinsip di mana hukum pidana hanya digunakan sebagai upaya terakhir setelah pendekatan lain, seperti sanksi administrasi atau perdata, tidak efektif. Namun, untuk kasus TPPO, Wamenkum Eddy Hiariej secara tegas menolak penerapan prinsip ini. Ia berpendapat bahwa kejahatan perdagangan orang memerlukan respons hukum yang lebih agresif dan langsung.
Sebaliknya, Eddy mengusulkan penerapan prinsip primum remedium, yang berarti hukum pidana harus menjadi sarana paling utama dalam penegakan hukum. Pendekatan ini mengindikasikan bahwa tindakan represif melalui hukum pidana harus diutamakan sejak awal. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa kejahatan serius seperti TPPO dapat ditindak dengan cepat dan efektif, tanpa memberikan ruang bagi pelaku untuk bersembunyi di balik celah hukum.
Perbedaan penanganan ini juga dijelaskan oleh Wamenkum, di mana TPPO tergolong sebagai pidana khusus internal, berbeda dengan pidana khusus eksternal yang mungkin masih bisa menerapkan hukum pidana administrasi. Kejahatan pidana khusus internal, seperti terorisme, korupsi, pencucian uang, penebangan liar, dan narkotika, memiliki karakteristik yang sama, yaitu tidak ada toleransi. Oleh karena itu, APH tidak perlu ragu dalam menggunakan hukum pidana sebagai primum remedium untuk memberantas TPPO.
TPPO: Kejahatan Luar Biasa Tanpa Toleransi
Wamenkum menegaskan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Klasifikasi ini didasarkan pada dampak yang ditimbulkan, yang tidak hanya merugikan individu tetapi juga merusak tatanan sosial secara luas. TPPO seringkali melibatkan reviktimisasi, di mana korban mengalami penderitaan berulang, serta dilakukan secara terorganisasi dengan jaringan internasional yang multidimensi.
Selain itu, kejahatan ini juga kerap terafiliasi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), menjadikannya semakin kompleks dan sulit diberantas. Ada semangat internasional yang kuat untuk memberantas TPPO, mengingat sifatnya yang lintas batas dan dampaknya yang biadab. Wamenkum bahkan menyebut TPPO sebagai kejahatan paling serius karena korbannya adalah kelompok rentan yang seharusnya dilindungi, namun justru menjadi sasaran empuk kejahatan ini.
Mengingat kompleksitas dan dampak serius dari TPPO, Wamenkum menekankan pentingnya kerja sama lintas sektoral. Kolaborasi antara berbagai lembaga pemerintah, penegak hukum, dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci untuk memberantas jaringan perdagangan orang. Selain itu, kolaborasi internasional juga sangat dibutuhkan mengingat sifat kejahatan ini yang seringkali melibatkan sindikat lintas negara, memastikan bahwa tidak ada tempat aman bagi para pelaku kejahatan ini.