Warga Jaktim Tolak Tawaran Rusun, Pilih Tetap Tinggal di Kawasan Rawan Banjir
Banjir yang kerap melanda Jakarta Timur membuat Pemprov DKI menawarkan rusun kepada warga terdampak, namun warga Kebon Pala II menolak karena alasan kenyamanan dan mata pencaharian.

Banjir yang kembali menerjang Jalan Kebon Pala II, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, menimbulkan polemik. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menawarkan solusi relokasi ke rumah susun (rusun) bagi warga terdampak, namun tawaran tersebut ditolak warga yang telah bermukim puluhan tahun di kawasan tersebut. Penolakan ini didasari berbagai alasan, mulai dari kenyamanan hingga kesulitan ekonomi jika harus pindah.
Umiana (70), warga Kebon Pala II sejak tahun 1970, mengungkapkan penolakannya. "Sempat sih ditawari, tapi bingung saya karena di sini emang udah enak, nyaman, saya dari tahun 70. Jadi, mempertimbangkan itu karena udah nyaman," ujarnya saat ditemui di lokasi banjir, Selasa (4/3). Meskipun rumahnya kerap terendam banjir, bahkan hingga empat sampai lima kali dalam setahun, Umiana merasa nyaman tinggal di lingkungan yang sudah dikenalnya berpuluh-puluh tahun.
Sentimen serupa diungkapkan Nuryadi (62) dan Suaeb (83), warga lainnya di Kebon Pala II. Nuryadi mengaku dirinya dan anaknya menolak pindah ke rusun, terutama karena informasi mengenai biaya sewa yang dikenakan setelah tiga bulan tinggal gratis. Sementara Suaeb, yang rumahnya pernah digusur pada tahun 1981, lebih memilih menerima uang kompensasi daripada pindah ke rusun karena khawatir akan kesulitan berdagang gorengan jika tinggal di lantai atas rusun.
Alasan Penolakan Relokasi ke Rusun
Alasan utama penolakan warga terhadap tawaran relokasi ke rusun sangat beragam. Kenyamanan dan keakraban lingkungan menjadi faktor utama. Banyak warga yang telah menetap di Kebon Pala II selama beberapa generasi, sehingga memiliki ikatan emosional yang kuat dengan tempat tinggal mereka. Mereka merasa telah membangun komunitas dan jaringan sosial yang sulit ditinggalkan.
Selain itu, kekhawatiran akan kesulitan ekonomi juga menjadi pertimbangan. Beberapa warga, seperti Suaeb, bergantung pada usaha kecil mereka untuk bertahan hidup. Pindah ke rusun, terutama ke lantai atas, dapat membatasi akses mereka ke pasar dan pelanggan, sehingga berdampak pada pendapatan mereka. Biaya tambahan yang mungkin dikenakan setelah periode tinggal gratis di rusun juga menjadi beban tambahan yang perlu dipertimbangkan.
Informasi yang kurang akurat mengenai biaya dan fasilitas di rusun juga turut mempengaruhi keputusan warga. Kurangnya sosialisasi dan penjelasan yang detail dari pemerintah mengenai skema relokasi dan fasilitas yang tersedia di rusun menyebabkan warga ragu dan cenderung menolak tawaran tersebut. Ketidakpercayaan terhadap janji pemerintah juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan.
Tanggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, sebelumnya menyatakan terus menawarkan solusi rusun kepada masyarakat yang tinggal di wilayah rawan banjir. Ia mempromosikan rusun baru di Jagakarsa yang memiliki kualitas bagus. Namun, ia mengakui bahwa mayoritas masyarakat masih menolak tawaran tersebut, mungkin karena belum terbiasa tinggal di rusun. "Saya lagi promosi rumah susun. Kita punya rumah susun yang akan selesai di daerah Jagakarsa, tiga tower. Itu kualitas bagus. Cuma mungkin masyarakat kita belum terbiasa tinggal di rumah susun. Makanya saya ke kampung-kampung ingin promosi. Ayok pindah ke rumah susun," kata Rano.
Pernyataan Rano Karno menunjukkan adanya kesenjangan antara upaya pemerintah dan kebutuhan serta persepsi warga. Pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih komprehensif dan persuasif untuk mengatasi masalah ini. Sosialisasi yang lebih efektif dan transparan mengenai fasilitas dan biaya rusun, serta pemahaman yang lebih mendalam terhadap kebutuhan dan kekhawatiran warga, sangat penting untuk keberhasilan program relokasi ini.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi warga dalam merencanakan relokasi. Memastikan bahwa warga tetap dapat mempertahankan mata pencaharian mereka setelah pindah ke rusun merupakan hal yang krusial. Program pelatihan keterampilan dan bantuan usaha dapat menjadi solusi untuk mengatasi kekhawatiran warga terkait aspek ekonomi.
Kesimpulannya, penolakan warga Kebon Pala II terhadap tawaran relokasi ke rusun menunjukkan kompleksitas permasalahan banjir di Jakarta. Solusi yang ditawarkan harus mempertimbangkan tidak hanya aspek teknis, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi warga terdampak. Komunikasi dan transparansi yang baik antara pemerintah dan warga sangat penting untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.