25 Tahun Otonomi Daerah: Refleksi, Tantangan, dan Harapan untuk Indonesia
Setelah 25 tahun reformasi, otonomi daerah di Indonesia masih menjadi medan perjuangan yang kompleks, antara cita-cita pemberdayaan daerah dan kendala birokrasi serta kebijakan pusat.
Tepat 25 tahun pasca reformasi, perjalanan otonomi daerah di Indonesia masih menyisakan pertanyaan mendasar: seberapa berhasilkah kita memberdayakan daerah dan mewujudkan kesejahteraan rakyat? Perjuangan ini bukan hanya soal teknis administrasi atau pengalihan kewenangan, melainkan pertaruhan besar bagi demokrasi, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa. Berbagai perubahan regulasi dan dinamika politik nasional turut mewarnai perjalanan panjang ini, menuntut evaluasi menyeluruh atas implementasi otonomi daerah.
Ryaas Rasyid, salah satu arsitek utama otonomi daerah, mengingatkan cita-cita awal otonomi: membebaskan daerah agar kreatif dan berdaya. Otonomi dirancang untuk memperkuat negara, bukan menjauhkan daerah dari pusat. Pemerintah pusat seharusnya fokus pada visi ke depan dan peran global, bukan mengurusi hal-hal kecil yang mampu diselesaikan oleh kepala daerah.
Namun, realitanya, kewenangan dan fiskal yang belum sepenuhnya diserahkan pusat membuat kepala daerah terjebak dalam ketergantungan struktural. Hal ini menghambat kreativitas dan inovasi daerah, memperlambat kemajuan, dan mengkhianati semangat reformasi. Otonomi, sebagai jembatan menuju kemakmuran rakyat dan nasionalisme sejati, belum sepenuhnya terwujud.
Perdebatan dan Tantangan Otonomi Daerah
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, menyoroti kemunduran serius akibat berbagai undang-undang sektoral dan kebijakan fiskal. UU Nomor 23/2014 dan Inpres Nomor 1/2025, misalnya, dinilai berpotensi menggerus otonomi daerah. Transfer ke daerah yang telah diatur undang-undang bisa dikalahkan oleh Inpres, membatasi ruang gerak daerah.
Desentralisasi yang diperjuangkan kini terkikis, digantikan kontrol ketat dari pusat. Tanpa ruang gerak cukup, daerah sulit mengembangkan potensi ekonomi dan berinovasi, berdampak pada kesejahteraan rakyat. Kondisi ini mempertanyakan kembali esensi otonomi daerah dan dampaknya bagi pembangunan nasional.
Gagasan otonomi daerah telah lama ada dalam diskursus kebangsaan Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan, Decentralisatie Wet tahun 1903 di era kolonial Belanda telah memperkenalkan desentralisasi. Bahkan di masa Sukarno-Hatta, perdebatan negara kesatuan versus negara federal menunjukkan betapa pentingnya isu ini dalam pembentukan identitas negara.
Membangun Kekuatan Lokal: Belajar dari Tiongkok
Presiden Sukarno pada tahun 1960 menegaskan kuasa di daerah ada di tangan kepala daerah, bukan pejabat pusat. Hal ini menekankan pentingnya pemberdayaan lokal dalam negara kesatuan. Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin, mengajak melihat otonomi daerah lebih luas: kedaulatan rakyat (Pasal 1 UUD 1945) harus diwujudkan dalam pemerintahan yang dekat dan berpihak pada rakyat. Desa, sebagai unit pemerintahan terdekat, harus menjadi bagian integral dari pemaknaan otonomi.
Posisi gubernur juga perlu dipertegas karena memiliki dua fungsi: kepala daerah dan wakil pemerintah pusat. Kompleksitas ini berpotensi menghambat pelayanan publik. Sebagai perbandingan, Tiongkok mendorong Mayor Base Economy atau ekonomi berbasis kekuatan lokal di bawah bupati. Strategi ini mendorong kompetisi sehat antardaerah, memacu inovasi lokal, dan mempercepat pertumbuhan nasional. Indonesia, dengan keberagaman daerahnya, memiliki potensi besar jika berani mempercayakan pembangunan kepada kekuatan lokal.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) memiliki peran vital dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Apkasi berkomitmen menjadi mitra strategis pemerintah, menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Ke depan, Apkasi harus terus memperjuangkan kepentingan daerah tanpa melupakan keutuhan nasional.
Otonomi Daerah: Kunci Ketimpangan dan Kekuatan Nasional
Otonomi daerah menjadi kunci dalam mengatasi ketimpangan pembangunan, membangun kekuatan nasional dari fondasi kokoh, dan mewujudkan kedaulatan rakyat. Peringatan 25 tahun otonomi daerah bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk membangun kesadaran kolektif: tanpa daerah yang kuat, negara akan lemah. Tanpa rakyat daerah yang sejahtera, nasionalisme hanya slogan kosong.
Saatnya memulihkan keberanian untuk mempercayai rakyat dan daerah, membangun Indonesia dari kekuatan otonominya. Perlu komitmen bersama untuk terus memperbaiki dan meningkatkan implementasi otonomi daerah agar cita-cita awal reformasi dapat terwujud sepenuhnya, demi kesejahteraan rakyat dan keutuhan bangsa.