Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024: Mencari Harapan di Tengah Tantangan Pers Indonesia
Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024, dengan peningkatan jumlah peserta, menjadi sorotan di tengah tantangan industri pers Indonesia yang meliputi rendahnya indeks kemerdekaan pers, maraknya wartawan 'amplop', dan persaingan ketat perebutan audiens.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro (AJA) 2024 menyoroti semangat perbaikan di tengah tantangan berat industri pers Indonesia. Jumlah pendaftar meningkat drastis menjadi 519 karya, naik dari 406 di tahun 2023. Pemenang AJA 2024 akan diumumkan pada 4 Februari di Auditorium Jusuf Ronodipuro RRI, dengan hadiah Rp100 juta per kategori yang diberikan di Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari di Banjarmasin.
Mengapa peningkatan jumlah peserta ini penting? Ini menunjukkan secercah harapan di tengah kondisi pers Indonesia yang masih menghadapi berbagai masalah. Meskipun jumlah peserta AJA 2024 masih kecil dibandingkan total media di Indonesia (sekitar 5.119), peningkatan ini tetap signifikan. AJA, penghargaan tertinggi bagi jurnalis Indonesia sejak 1974, diharapkan dapat menjadi tolak ukur kualitas dan mendorong peningkatan profesionalisme.
Salah satu tantangan utama adalah rendahnya Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Nasional 2024 yang hanya mencapai 69,36. Skor ini, yang berada di bawah 80 selama sembilan tahun berturut-turut, mencerminkan berbagai permasalahan, salah satunya kepatuhan wartawan terhadap kode etik jurnalistik. Data Dewan Pers juga mencatat 813 pengaduan masyarakat pada 2023, dengan 60 persen di antaranya terkait ketidakprofesionalan media, termasuk pemerasan dan intimidasi.
Persaingan ketat antar media dalam merebut audiens dan iklan juga memengaruhi kualitas berita. Penelitian Universitas Multimedia Nusantara (UMN) 2024 menemukan masih banyaknya wartawan 'jale' atau wartawan 'amplop', yang menerima bayaran di luar gaji resmi. Fenomena ini telah berlangsung lama, seperti yang diungkap penelitian Nugroho, Siregar, dan Laksmi (2012) dan Nurhasim dkk (2009) yang menemukan berbagai praktik tidak etis dalam industri media, seperti keberpihakan pada partai politik dan penyisipan iklan dalam berita.
Pemerintah daerah juga turut berkontribusi pada masalah ini. Beberapa pemerintah daerah memberikan anggaran khusus atau kerja sama iklan kepada wartawan, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas dan independensi berita. Beberapa media online di Sumatera Barat bahkan mengaku pendapatan mereka bergantung sepenuhnya pada dana pemerintah daerah.
Mencari Solusi
Untuk mengatasi kondisi ini, beberapa media, terutama media kecil, mencari jalan keluar dengan melakukan diversifikasi bisnis, seperti penyelenggaraan EO, menjadi humas, dan mencari iklan. AJA 2024, dengan tema 'Kolaborasi Investigasi dan Inovasi menuju Pers Berkualitas', mendorong kolaborasi antar media untuk menghasilkan karya jurnalistik berkualitas.
Media besar seperti Tempo, kumparan.com, Kompas, dan Project Multatuli telah memulai inisiatif kolaborasi investigasi dengan memberikan pelatihan kepada media kecil. Kolaborasi ini penting untuk mengangkat isu-isu penting seperti kekerasan seksual terhadap anak yang sering terabaikan. Model kolaborasi ini sebenarnya sudah diusulkan oleh Adinegoro dalam bukunya 'Filsafah Merdeka', menggambarkan hubungan simbiosis antara pers, pemerintah, dan masyarakat.
Pentingnya profesionalisme wartawan dan kepatuhan pada kode etik jurnalistik tidak bisa diabaikan. Wartawan profesional adalah pekerja intelektual yang mampu melakukan investigasi dan menjadi agen perubahan. Semakin banyak wartawan yang profesional, semakin tinggi kepercayaan publik pada media. AJA 2024 menjadi momentum bagi wartawan untuk kembali bersemangat dalam melakukan investigasi dan membangun jurnalistik berkualitas.
Kesimpulannya, AJA 2024 menjadi sebuah simbol harapan di tengah tantangan besar yang dihadapi industri pers Indonesia. Peningkatan jumlah peserta menunjukkan komitmen untuk perbaikan, namun perlu usaha berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mewujudkan pers Indonesia yang independen, profesional, dan terpercaya.