BPN DIY Blokir Sertifikat Tanah Sengketa Mbah Tupon: Dugaan Mafia Tanah Terkuak?
BPN DIY blokir sertifikat tanah atas nama IF yang diduga terkait kasus dugaan mafia tanah yang merugikan Mbah Tupon, lansia buta huruf di Bantul; Polda DIY tengah melakukan penyelidikan.
Yogyakarta, 29 April 2025 - Sebuah kasus dugaan mafia tanah yang melibatkan seorang lansia buta huruf di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bernama Tupon atau Mbah Tupon, tengah menjadi sorotan. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY telah memblokir sertifikat hak milik atas nama IF, yang sebelumnya tercatat sebagai milik Mbah Tupon. Polda DIY juga telah turun tangan untuk menyelidiki kasus ini, memperkuat dugaan adanya praktik mafia tanah yang merugikan lansia tersebut.
Pemblokiran sertifikat dilakukan sebagai langkah internal BPN DIY menyusul laporan sengketa tanah yang masuk. Kepala Kanwil BPN DIY, Dony Erwan Brilianto, menyatakan bahwa pemblokiran ini bertujuan untuk menjaga status quo pertanahan dan menghentikan sementara seluruh proses administrasi, termasuk peralihan hak dan pelelangan, hingga ada kepastian hukum. "Karena ada sengketa, terus kemudian juga ada laporan ke Polda. Nah, ini kami lakukan pemblokiran internal itu kaitannya dengan sengketa tersebut," jelas Dony.
Kasus ini menyoroti kerentanan lansia buta huruf dalam transaksi tanah. Kondisi Mbah Tupon yang tidak bisa membaca dan menulis menjadi perhatian serius, khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menangani proses jual beli tanah. Dony menekankan pentingnya pemahaman menyeluruh atas isi akta bagi semua pihak yang terlibat, agar sengketa hukum dapat dihindari.
Sengketa Tanah dan Peran PPAT
Pemblokiran sertifikat hak milik nomor 24451 dilakukan setelah Kanwil BPN DIY menerima surat pertimbangan dari ATR/BPN Kabupaten Bantul. Surat balasan juga telah dikirim pada hari yang sama. Dony menyoroti peran PPAT dalam memastikan pemahaman para pihak atas isi akta, terutama bagi mereka yang buta huruf. "Pejabat pembuat akta itu harus membacakan isi akta hingga para pihak benar-benar memahami. Meskipun pembacaannya menggunakan bahasa Indonesia, tetapi harus juga diterangkan dalam bahasa Jawa misalnya, agar mereka benar-benar mengerti maksud dari penandatanganan itu," tuturnya.
Ia menegaskan bahwa setiap proses peralihan hak atas tanah harus dijalankan dengan transparan dan dipahami semua pihak. Ketidakpahaman akan isi akta berpotensi menimbulkan sengketa hukum di kemudian hari. "Biasanya dalam akta jual beli itu pasti ada dua saksi, dan ditandatangani juga dalam aktanya," tambahnya. BPN, menurut Dony, tidak berwenang menyimpulkan adanya penipuan, dan akan mengikuti proses penyelidikan Polda DIY.
Meskipun demikian, jika ditemukan pelanggaran hukum dalam proses peralihan hak, pemulihan hak dapat dilakukan melalui mekanisme pembatalan administrasi. "Kalau memang ada kesalahan prosedur dalam peralihannya, bisa saja dibatalkan terlebih dahulu," ujar Dony. Kasus serupa, menurutnya, bukan yang pertama terjadi di DIY. BPN telah menerima beberapa aduan terkait persoalan serupa sepanjang tahun ini, meskipun dengan pola yang berbeda.
Penyelidikan Polda DIY dan Pelajaran Berharga
Polda DIY telah menerima laporan terkait dugaan mafia tanah yang merugikan Mbah Tupon sejak 14 April 2025. Kabid Humas Polda DIY, Kombes Pol Ihsan, menyatakan bahwa penyelidikan masih berlangsung dengan memeriksa sejumlah saksi untuk mengumpulkan bukti-bukti. "Ini sementara masih didalami sama Reskrim. Kami dalami dengan memeriksa saksi-saksi terkait," kata Ihsan.
Kasus Mbah Tupon menjadi pelajaran penting bagi semua pihak tentang pentingnya kehati-hatian dalam setiap proses peralihan hak atas tanah, terutama jika melibatkan masyarakat rentan. BPN berkomitmen untuk melakukan pemulihan hak atas tanah jika ditemukan ketidaksesuaian prosedur. "Kalau dalam prosesnya ternyata tidak sesuai, maka akan kami upayakan pemulihan hak atas tanah tersebut," tegas Dony.
Kasus ini juga menyoroti perlunya peningkatan kesadaran hukum dan perlindungan bagi masyarakat rentan terhadap potensi eksploitasi dalam transaksi tanah. Peran serta semua pihak, termasuk PPAT, aparat penegak hukum, dan BPN, sangat penting untuk mencegah terjadinya praktik mafia tanah dan memastikan keadilan bagi semua.
Diharapkan, kasus ini dapat menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak agar lebih berhati-hati dan transparan dalam setiap proses transaksi tanah, serta memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi masyarakat rentan.