BRIN Dorong Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat untuk Atasi Degradasi
Peneliti BRIN mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai solusi degradasi hutan akibat eksploitasi dan perubahan iklim, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi.
Jakarta, 21 Februari 2024 - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai solusi atas permasalahan degradasi hutan yang semakin meluas. Degradasi ini disebabkan oleh eksploitasi besar-besaran dan perubahan iklim, berdampak buruk pada lingkungan dan mata pencaharian masyarakat sekitar hutan. Upaya ini dinilai penting untuk memperbaiki kondisi hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Komalawati, peneliti dari Pusat Riset Korporasi, Koperasi, dan Ekonomi Kerakyatan (PR KKEK) BRIN, mengungkapkan keprihatinannya terhadap banyaknya wilayah hutan yang terdegradasi. "Degradasi hutan tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, tapi juga kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian," katanya dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat.
Meskipun berbagai peraturan terkait rehabilitasi hutan telah diterapkan, hasilnya dinilai kurang maksimal karena kurang melibatkan masyarakat lokal. Komalawati menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program rehabilitasi hutan agar lebih efektif dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Komalawati menjelaskan bahwa implementasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat menjadi solusi yang tepat. Selama ini, rehabilitasi hutan banyak diinisiasi oleh pemerintah, akademisi, atau organisasi nirlaba, dengan keterlibatan masyarakat yang terbatas. "Jadi, lebih banyak hanya melibatkan masyarakat pada aspek manajemen di pengelolaan kawasan hutan konservasi," ujarnya.
Peneliti PR KKEK BRIN lainnya, Syarif Hidayat, menawarkan solusi melalui Konsep Community, Government, and Private Partnership (CBPP). Model ini dinilai lebih inklusif dan berkelanjutan karena melibatkan sinergi berbagai pemangku kepentingan. Dengan kolaborasi ini, diharapkan biaya transaksi dapat ditekan dan keuntungan bagi masyarakat dapat ditingkatkan.
Syarif Hidayat menambahkan, "Dalam model CBPP yang kami ajukan ini menawarkan model tata kelola hutan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Lalu koperasi sebagai institusi inti dapat mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan keuntungan bagi masyarakat." Model ini menekankan pentingnya peran koperasi dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) BRIN, Agus Eko Nugroho, juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam pengelolaan hutan. Ia menyatakan bahwa studi perhutanan sosial telah dilakukan secara intensif, dan model yang tepat harus memiliki kekuatan akademik, empiris, dan kebijakan yang kuat. "Ini yang harus diberikan sebagai solusi untuk menjaga inklusivitas pembangunan, khususnya masyarakat di sekitar hutan," tutur Agus Eko Nugroho.
Pentingnya Kolaborasi dan Peran Masyarakat
Kesimpulannya, pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan pendekatan yang krusial untuk mengatasi degradasi hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan terutama masyarakat lokal sangat penting untuk keberhasilan program ini. Model CBPP yang diajukan oleh peneliti BRIN menawarkan kerangka kerja yang inklusif dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahap pengelolaan hutan, diharapkan dapat tercipta keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan peningkatan ekonomi masyarakat.