Caleg dari Pendamping Desa: Potensi Pidana Mengintai?
Guru Besar Hukum Pidana UKI, Prof. Mompang, mengungkapkan potensi pidana bagi Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang menjadi caleg tanpa mengundurkan diri, karena berpotensi melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta, 17 Maret 2024 - Peristiwa seorang Tenaga Pendamping Profesional (TPP) atau pendamping desa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (caleg) tanpa mengundurkan diri dari jabatannya menimbulkan pertanyaan hukum. Hal ini telah menjadi sorotan, khususnya setelah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Dr. Mompang, menyampaikan potensi sanksi pidana yang mengintai para oknum TPP tersebut. Pernyataan ini disampaikan menyusul banyaknya laporan mengenai TPP yang tetap menerima gaji dan honor meskipun telah menjadi caleg.
Prof. Mompang menjelaskan bahwa tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum, khususnya jika TPP bersangkutan terbukti menerima gaji atau honor secara melawan hukum. Menurutnya, hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV Tahun 2006 dan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beliau menekankan bahwa penerimaan gaji atau honor setelah ditetapkan sebagai calon tetap anggota legislatif tanpa pengunduran diri merupakan bentuk memperkaya diri sendiri secara melawan hukum.
Lebih lanjut, Prof. Mompang memaparkan bahwa perbuatan melawan hukum formil dapat berakibat pada tiga bentuk keuntungan yang tidak sah: memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, atau memperkaya korporasi. Dalam konteks TPP yang menjadi caleg, menerima gaji setelah resmi menjadi calon tetap anggota legislatif tanpa mengundurkan diri, dinilai telah menikmati kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum. "Oleh sebab itu, dalam hal TPP yang bersangkutan masih menerima gaji dan honor tapi tidak mengundurkan diri saat pencalonan dulu secara hukum. Sepantasnya, TPP yang bersangkutan mengembalikan gaji atau honor yang telanjur diterima terhitung sejak ia resmi menjadi calon anggota tetap," tegas Prof. Mompang.
Potensi Pidana dan Sanksi Administratif
Prof. Mompang menjelaskan bahwa jika TPP yang telah menjadi caleg tetap menerima gaji dan honor, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi karena yang bersangkutan telah kehilangan status, hak, dan kewenangannya sebagai TPP sejak ditetapkan sebagai calon tetap. Tidak hanya dari sisi pidana, dari perspektif hukum administrasi, TPP yang terbukti melanggar ketentuan tersebut juga tidak dapat melanjutkan kontraknya. Hal ini merujuk pada Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mewajibkan calon legislatif dari kalangan tertentu, termasuk tenaga pendamping profesional, untuk mengundurkan diri sebelum pencalonan.
Lebih rinci, Prof. Mompang menjelaskan bahwa "Apabila seseorang memperoleh penghasilan atau gaji dari uang negara secara melawan hukum sesuai sifat melawan hukum formil, maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi, karena memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya kepatuhan hukum bagi para TPP yang ingin terjun ke dunia politik. Mereka diwajibkan untuk memilih antara menjalankan tugas sebagai TPP atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Dengan demikian, para TPP yang telah mencalonkan diri sebagai caleg tanpa mengundurkan diri perlu mempertimbangkan konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi. Baik sanksi pidana maupun sanksi administratif dapat menjadi konsekuensi dari tindakan tersebut. Penting bagi mereka untuk memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban Mengundurkan Diri dan Konsekuensi Hukum
UU Pemilu telah mengatur secara jelas tentang kewajiban mengundurkan diri bagi calon legislatif dari kalangan tertentu, termasuk TPP. Kewajiban ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dan memastikan integritas penyelenggaraan Pemilu. Dengan tetap menerima gaji dan honor setelah menjadi caleg, TPP telah melanggar ketentuan tersebut dan berpotensi menghadapi konsekuensi hukum yang serius.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam proses Pemilu, terutama bagi calon legislatif dari kalangan aparatur negara. Kepatuhan terhadap hukum dan etika sangat penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Kejelasan aturan hukum terkait konflik kepentingan ini harus dipahami dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat.
Oleh karena itu, penting bagi para TPP untuk memahami konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Mereka harus memilih antara tetap menjalankan tugas sebagai TPP atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Keputusan yang bijak dan sesuai dengan hukum akan menghindari potensi masalah hukum di kemudian hari.
Dengan adanya potensi sanksi pidana dan administratif, diharapkan kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi para TPP dan calon legislatif lainnya untuk selalu mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Integritas dan kepatuhan hukum merupakan kunci keberhasilan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan adil.