Dorong Komersialisasi, Indonesia Perlu Peta Jalan AI yang Berdampak Nyata
Pemerintah Indonesia didesak untuk fokus pada industrialisasi dan komersialisasi AI agar tidak hanya mencetak talenta yang direkrut perusahaan global, tetapi juga membangun industri AI lokal yang kuat.
Indonesia sedang berada di persimpangan penting dalam menentukan arah masa depan teknologinya, khususnya di bidang kecerdasan artifisial (AI). Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menyusun peta jalan AI nasional, namun terdapat kekhawatiran peta jalan ini hanya akan menjadi dokumen normatif tanpa dampak nyata bagi industri AI dalam negeri. Artikel ini akan membahas pentingnya fokus pada industrialisasi dan komersialisasi AI di Indonesia.
Kekhawatiran utama adalah peta jalan AI yang terlalu fokus pada literasi, regulasi, dan etika, tanpa memperhatikan aspek industrialisasi dan komersialisasi. Tanpa ekosistem permintaan dan penawaran yang konkret, peta jalan tersebut hanya akan menjadi dokumen yang tidak menuntun ke tujuan. Aspek-aspek non-teknis seperti akses data, pendanaan, dan insentif adopsi dari lembaga lokal juga menjadi hambatan utama bagi perkembangan industri AI lokal.
Situasi ironis terlihat jelas: Indonesia memiliki talenta AI yang diakui dunia, banyak anak muda Indonesia bergabung dengan perusahaan teknologi global seperti Google, Meta, dan TikTok. Namun, produk AI lokal masih tersisih. Masalahnya bukan pada kurangnya kreativitas atau keahlian teknis, melainkan pada absennya dukungan sistemik terhadap industri AI dalam negeri. Hal ini perlu segera diatasi agar Indonesia tidak hanya menjadi penyedia talenta bagi perusahaan asing.
Membangun Ekosistem Industri AI Lokal
Ketua Komite Tetap AI Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Nasional (APTIKNAS), Karim Taslim, mengusulkan penambahan pilar industrialisasi dan komersialisasi dalam peta jalan AI nasional. Ini bukan sekadar koreksi kebijakan, melainkan perubahan paradigma pembangunan AI di Indonesia. Salah satu rekomendasi konkret adalah peran negara sebagai "pembeli pertama" produk AI lokal. Dengan memberikan ruang pada solusi lokal dalam proyek-proyek strategis nasional, akan tercipta pasar domestik yang sehat.
APTIKNAS telah menunjukkan contoh nyata melalui program AI Incubation Camp dan Indonesia AI Innovation Challenge. Beberapa startup yang lahir dari program ini, seperti LUDESC, AeroBuddy, dan MersifLab, telah menunjukkan potensi global. Namun, potensi ini tidak akan menjadi lompatan besar tanpa dukungan serius dari pemerintah terhadap industrialisasi AI.
Dukungan tersebut tidak hanya berupa inkubasi dan pelatihan teknis, tetapi juga pembinaan non-teknis bagi para pendiri startup AI. Banyak pendiri startup AI kuat secara teknologi, tetapi lemah dalam hal bisnis dan manajemen. Mereka perlu dilatih dalam validasi pasar, strategi bisnis, dan pengelolaan keuangan agar dapat membangun organisasi yang berkelanjutan.
Contoh sukses Google, yang menyerahkan kursi CEO kepada sosok yang berpengalaman dalam manajemen bisnis skala besar, dapat menjadi pelajaran berharga. Indonesia perlu memastikan para pendiri startup AI memiliki kemampuan yang komprehensif, tidak hanya dalam teknologi.
Akses Pasar dan Perlindungan Produk Lokal
Akses pasar dan perlindungan produk dalam negeri merupakan elemen penting dalam peta jalan AI yang diusulkan APTIKNAS. Diplomasi digital perlu diarahkan untuk membuka peluang ekspor AI Indonesia, terutama ke negara-negara ASEAN dan Afrika. Di dalam negeri, perlindungan terhadap produk lokal melalui pendekatan seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk AI sangat penting.
Ini bukan berarti menutup diri dari teknologi global, melainkan memastikan Indonesia tidak hanya menjadi konsumen atau penyedia tenaga kerja murah. Tiongkok dapat menjadi contoh bagaimana pemerintah dapat aktif mendukung startup AI lokal hingga mampu menembus pasar global. Indonesia dapat belajar dari model ini, dengan tetap mempertimbangkan ekosistem uniknya sendiri.
Tantangan utama bukanlah kurangnya talenta, melainkan kurangnya strategi. Jika peta jalan AI nasional tidak memperhatikan industrialisasi dan komersialisasi, Indonesia hanya akan menghasilkan talenta yang kemudian diserap oleh ekosistem luar negeri. Ini merupakan bentuk brain drain yang lebih canggih, di mana Indonesia berinvestasi besar dalam pengembangan talenta, namun tidak mendapatkan manfaatnya di dalam negeri.
AI bukan hanya urusan teknologi, tetapi juga geopolitik, kedaulatan data, dan daya saing ekonomi. Pemerintah harus berperan sebagai mitra strategis dalam membangun industri AI nasional yang tangguh, berdaulat, dan mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Perlu pandangan jernih dan realistis untuk masa depan AI Indonesia.