DPRD Jabar Kritik Penghapusan Hibah Pesantren: Abaikan Aspirasi Publik?
Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono mengkritik penghapusan dana hibah pesantren oleh Gubernur Jabar, menilai kebijakan tersebut mengabaikan aspirasi publik dan mencederai semangat kolaborasi.
Bandung, 25 April 2024 - Penghapusan dana hibah pesantren oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memicu kontroversi. Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, mengungkapkan keprihatinannya atas kebijakan tersebut. Ia menilai langkah efisiensi anggaran yang dilakukan Gubernur mengabaikan aspirasi publik dan semangat kolaborasi dalam pemerintahan.
Keputusan ini diambil dengan alasan untuk memberikan keadilan dan menghindari relasi politik dalam penyaluran dana hibah. Namun, Ono Surono menekankan bahwa penghapusan ini dilakukan tanpa melalui pembahasan bersama DPRD Jabar. Selain dana hibah pesantren, sejumlah bantuan organisasi kemasyarakatan dan usulan kegiatan dari kabupaten/kota juga turut dihapus.
"Mereka menilai keputusan penghapusan tersebut tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mencederai semangat kolaborasi dan prinsip musyawarah, misalnya hibah Ponpes," ungkap Ono Surono dalam pernyataan resminya di Bandung.
Kritik Terhadap Kebijakan Efisiensi APBD
Ono Surono mengingatkan pentingnya verifikasi sebelum menghapuskan dana hibah pesantren. Ia menyoroti potensi adanya pondok pesantren yang menerima anggaran besar karena faktor politik. "Kalaupun Ponpes menerima hibah hanya untuk memenuhi unsur atau aspek politik (relasi politik) itu sah saja. Sama halnya dengan gubernur datang ke suatu tempat, desa atau satu organisasi dan dia menjanjikan akan membantu," jelasnya.
Lebih lanjut, Ono menekankan pentingnya kolaborasi dalam pembangunan daerah. Ia menggarisbawahi nilai-nilai Pancasila dan falsafah Sunda, "Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh," sebagai landasan penting dalam proses pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Ia juga menjelaskan bahwa kolaborasi yang ideal haruslah teknokratis, partisipatif, politis, dan menerapkan pendekatan top-down-bottom-up. Hal ini memungkinkan komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan daerah.
"Implementasi prinsip kolaboratif di Jabar saat ini masih jauh dari harapan. Harusnya, kolaborasi hadir tidak hanya sebagai jargon dalam pidato atau dokumen formal, tetapi harus menjadi pijakan nyata dalam penyusunan kebijakan," tegas Ono.
Transparansi dan Partisipasi Publik
Ono berharap pimpinan DPRD Jabar segera merespon aspirasi masyarakat dan kegelisahan anggota dewan untuk merumuskan kebijakan yang lebih adil dan menyeluruh. Ia juga menegaskan pentingnya verifikasi terhadap ponpes yang diduga menerima anggaran besar, agar tidak terjadi penghapusan dana secara sepihak.
Lebih dari 370 lembaga pesantren yang direncanakan menerima hibah pada APBD 2025, kini batal menerima dana tersebut. Hanya dua lembaga yang masih menerima hibah, yaitu Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Jabar (Rp9 miliar) dan Yayasan Mathlaul Anwar Ciaruteun Udik (Rp250 juta).
Meskipun demikian, sejumlah lembaga lain masih menerima hibah, termasuk PMI Jabar, KPID Jabar, DPD KNPI Jabar, NPCI Jabar, Kormi Jabar, KONI Jabar, Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jabar, Kanwil Kemenag Jabar, PWNU Jabar, dan Persis Jabar. Hibah kepada partai politik dan instansi vertikal seperti Polda Jabar, Pangkalan TNI AL Bandung, dan Kodam III/Siliwangi juga tetap dialokasikan.
Ono berharap agar semangat kolaborasi dapat benar-benar diimplementasikan dalam proses pembangunan di Jawa Barat, sehingga pembangunan dapat menyentuh langsung kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan: Penghapusan dana hibah pesantren tanpa melibatkan DPRD Jabar dan proses verifikasi yang transparan menimbulkan kontroversi dan kritik dari berbagai pihak. Hal ini menyoroti pentingnya kolaborasi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan pemerintah daerah.