Dunia Usaha Indonesia Desak Transisi Energi Terbarukan: Akankah Pemerintah Mendengar?
Survei terbaru menunjukkan 88 persen eksekutif bisnis Indonesia menginginkan transisi penuh ke energi terbarukan sebelum 2035, desakan ini muncul dari pertimbangan ekonomi dan keberlanjutan.
Jakarta, 23 April 2024 (ANTARA) - Di tengah krisis iklim global yang semakin mengancam, suara dunia usaha Indonesia menuntut percepatan transisi energi menuju sumber terbarukan. Sebuah survei global yang dilakukan Savanta atas permintaan We Mean Business Coalition, E3G, dan Beyond Fossil Fuels mengungkapkan fakta mengejutkan: 88 persen eksekutif bisnis di Indonesia menginginkan transisi penuh ke energi terbarukan sebelum tahun 2035. Survei bertajuk "Powering up: Business perspectives on shifting to renewable electricity" ini melibatkan 1.477 pemimpin bisnis skala menengah dan besar di 15 negara penghasil emisi besar, termasuk Indonesia.
Hasil survei tersebut menunjukkan dukungan kuat dari dunia usaha terhadap peralihan dari batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Sebanyak 97 persen responden secara global, termasuk di Indonesia, mendukung langkah ini. Ini bukan sekadar wacana lingkungan, melainkan sinyal kuat bahwa logika ekonomi dan keberlanjutan kini berjalan beriringan. Para pelaku usaha menyadari bahwa transisi energi bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga kunci keberhasilan bisnis di masa depan.
Energi bersih telah menjadi medan persaingan baru, mendorong inovasi dan efisiensi. Namun, aspirasi besar ini masih terhambat oleh berbagai tantangan. CEO We Mean Business Coalition, Maria Mendiluce, menegaskan bahwa peralihan dari bahan bakar fosil bukan lagi perdebatan, melainkan kebutuhan ekonomi yang didorong oleh perusahaan-perusahaan yang melihat energi terbarukan sebagai fondasi keunggulan kompetitif jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas harga energi. Tantangannya kini adalah bagaimana pemerintah merespon desakan kuat dari dunia usaha ini.
Dorongan Ekonomi di Balik Transisi Energi
Indonesia, yang masih mengandalkan batu bara untuk sekitar 62 persen kapasitas listrik nasional, kini mulai menyadari kelemahan dari ketergantungan tersebut. Cadangan batu bara yang melimpah (lebih dari 31 miliar ton) tidak lagi menjadi jaminan keberlanjutan. Para pelaku industri semakin menyadari risiko ketidakstabilan harga, volatilitas pasokan global, dan tekanan pasar internasional yang menuntut jejak karbon rendah dalam rantai pasok. Mereka tidak hanya mempertimbangkan reputasi dan tanggung jawab sosial, tetapi juga efisiensi biaya dan keberlanjutan bisnis jangka panjang.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 76 persen eksekutif percaya energi terbarukan akan memangkas tagihan listrik perusahaan dan konsumen. Ini adalah argumen ekonomi yang kuat dan tidak bisa diabaikan. Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan pembangunan pembangkit batu bara yang terus berlanjut, bahkan dengan upaya co-firing batu bara dengan biomassa dan amonia sebagai solusi transisi. Pendekatan ini dinilai kurang efektif dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Para ahli menekankan perlunya keberanian politik untuk menghentikan subsidi bahan bakar fosil yang mencapai sekitar 2 persen dari total PDB nasional. Dana tersebut seharusnya dialihkan untuk memperkuat sistem energi bersih, mulai dari perizinan, pembiayaan, hingga infrastruktur pendukung seperti jaringan listrik cerdas dan fasilitas penyimpanan energi. Keterlambatan dalam transisi energi tidak hanya berdampak pada krisis iklim, tetapi juga menghambat potensi ekonomi baru yang besar.
Hambatan dan Solusi Menuju Energi Bersih
Dalam Just Energy Transition Partnership (JET-P), Indonesia menargetkan 44 persen energi terbarukan dalam bauran energi pada tahun 2030. Untuk mencapai target 2025, dibutuhkan investasi setidaknya 14,4 miliar dolar AS pada energi surya. Menariknya, survei Savanta menunjukkan bahwa 72 persen pelaku usaha di Indonesia bahkan tidak menginginkan gas alam sebagai energi transisi, mereka menginginkan lompatan langsung ke energi terbarukan.
Gas alam, meskipun tampak lebih bersih daripada batu bara, tetaplah bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi dan berisiko menciptakan ketergantungan baru. Senior International Campaigner dari Beyond Fossil Fuels, Claire Smith, mengingatkan bahwa gas alam telah menimbulkan masalah dan kerugian. Akses ke energi terbarukan yang terjangkau kini menjadi syarat utama bagi para pemimpin perusahaan.
Hambatan utama yang dihadapi pelaku usaha adalah lambatnya proses perizinan, ketidakpastian pendanaan, dan kesiapan tenaga kerja di sektor energi baru. Sebanyak 52 persen mendesak penyederhanaan perizinan, 51 persen meminta percepatan modernisasi jaringan listrik, dan 53 persen menyuarakan perlunya peningkatan keterampilan tenaga kerja di sektor energi bersih. Mereka siap berinvestasi, asalkan pemerintah memberikan dukungan yang memadai.
Potensi Besar Energi Terbarukan: Ekonomi dan Lingkungan
Pembangunan energi terbarukan di Indonesia berpotensi menciptakan 100 ribu lapangan kerja hingga 2030 dan menarik investasi sebesar 4,3 miliar dolar AS. Energi surya dan angin, misalnya, dapat dimanfaatkan di daerah terpencil, tanpa harus menunggu jaringan besar dari pusat. Keunggulan energi terbarukan terletak pada sifatnya yang desentralistik, inklusif, dan partisipatif.
Perubahan iklim telah menimbulkan dampak nyata di Indonesia, seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan muka laut. Energi bersih bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga strategi bertahan hidup. Indonesia, sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, tidak dapat mengabaikan urgensi transisi energi.
Komitmen di atas kertas sudah ada, yang dibutuhkan adalah kemauan politik dan keberanian untuk mengambil keputusan strategis, meskipun mungkin tidak populer dalam jangka pendek. Dunia usaha telah memberikan sinyal yang jelas: energi bersih adalah masa depan, dan mereka siap menjadi bagian dari solusi. Kini, keputusan ada di tangan pemerintah. Indonesia hanya memiliki satu dekade untuk membuktikan bahwa negara ini berada di sisi sejarah yang benar.