Eks Dirjen ESDM Dituntut 8 Tahun Penjara Kasus Korupsi Timah Rp300 Triliun
Mantan Dirjen Minerba ESDM, Bambang Gatot Ariyono, dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp750 juta terkait kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menuntut Bambang Gatot Ariyono, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2015—2022, dengan hukuman 8 tahun penjara. Tuntutan tersebut terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Kasus ini diduga merugikan negara hingga Rp300 triliun dan melibatkan beberapa pihak, termasuk Direktur Operasi Produksi PT Timah dan mantan Plt. Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung.
Sidang pembacaan tuntutan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin. JPU, Teuku Rahmatsyah, menyatakan Bambang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain hukuman penjara, Bambang juga dituntut membayar denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp60 juta subsider 2 tahun penjara.
Kasus ini melibatkan beberapa pihak, termasuk Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk. 2017—2020 Alwin Albar yang dituntut 14 tahun penjara dan mantan Plt. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Supianto yang dituntut 7 tahun penjara. Ketiganya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kronologi Kasus Korupsi Timah
Bambang Gatot Ariyono didakwa menyetujui Revisi Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) 2019 PT Timah meskipun mengetahui adanya kekurangan dokumen. Ia juga diduga menerima uang dan fasilitas, termasuk Rp60 juta, hadiah Iphone 6, dan jam Garmin dari PT Timah. Alwin Albar, Direktur Operasi Produksi PT Timah, diduga lalai dalam menjalankan tugasnya terkait penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Supianto, mantan Plt. Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung, diduga menyetujui RKAB 2020 yang tidak benar untuk dua smelter swasta.
JPU mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan Bambang yang tidak mendukung program pemerintah untuk pemerintahan yang bersih, kerugian negara yang sangat besar termasuk kerusakan lingkungan, dan sikap Bambang yang tidak menyesali perbuatannya. Hal yang meringankan adalah Bambang belum pernah dihukum sebelumnya.
Kerugian negara akibat kasus ini ditaksir mencapai Rp300 triliun. Tuntutan hukuman yang berat terhadap para terdakwa mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di sektor pertambangan.
Pertimbangan Hukum dan Sanksi
Dalam tuntutannya, JPU merinci pasal-pasal yang dilanggar oleh para terdakwa dan menjelaskan dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman. Selain hukuman penjara dan denda, terdapat juga tuntutan uang pengganti yang harus dibayarkan oleh para terdakwa. Jika uang pengganti tidak dibayarkan, maka harta benda para terdakwa dapat disita dan dilelang untuk menutupi kekurangannya. Jika harta benda tidak mencukupi, maka akan dikonversi menjadi hukuman penjara tambahan.
Proses hukum masih berlanjut dan menunggu putusan pengadilan. Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan pejabat tinggi negara dan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Putusan pengadilan diharapkan dapat memberikan efek jera dan menegakkan hukum di Indonesia.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Perlu adanya pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya korupsi dan memastikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dampak dan Implikasi Kasus
Kasus korupsi timah ini berdampak luas, tidak hanya pada kerugian keuangan negara, tetapi juga pada kerusakan lingkungan. Penambangan ilegal yang terjadi telah merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, kasus ini juga menjadi sorotan bagi upaya perlindungan lingkungan dan penegakan hukum di sektor pertambangan.
Ke depan, perlu adanya reformasi dan peningkatan pengawasan dalam sektor pertambangan untuk mencegah terjadinya kasus serupa. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam sangat penting untuk memastikan bahwa kekayaan negara dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan tidak jatuh ke tangan oknum yang korup.