Eks Dirjen Kemenhub Didakwa Terima Rp2,6 Miliar dalam Kasus Korupsi KAI
Mantan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Prasetyo Boeditjahjono, didakwa menerima suap Rp2,6 miliar terkait proyek kereta api Besitang-Langsa yang merugikan negara Rp1,16 triliun.
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) periode 2016—2017, Prasetyo Boeditjahjono, didakwa menerima suap sebesar Rp2,6 miliar terkait kasus korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa uang tersebut diterima dari berbagai pihak, dan kasus ini mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp1,16 triliun. Sidang pembacaan surat dakwaan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin.
Uang suap tersebut diterima Prasetyo melalui dua jalur. Sebesar Rp1,4 miliar diterima melalui sopirnya dari Andreas Kertopati Handoko, penerima manfaat dari PT Wahana Tunggal Jaya. Sementara itu, Rp1,2 miliar diterima melalui ajudannya, Rian Sestianto, dari Akhmad Afif Setiawan, pejabat pembuat komitmen (PPK) Wilayah I pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara. Perbuatan Prasetyo ini dinilai telah melanggar hukum dan merugikan negara secara signifikan.
Kasus ini bermula dari perintah Prasetyo kepada Nur Setiawan Sidik, Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, untuk mengusulkan proyek kereta api Besitang-Langsa yang dibiayai melalui Surat Berharga Syariah Negara-Project Based Sukuk (SBSN-PBS) Tahun Anggaran (TA) 2017. Ironisnya, proyek tersebut diajukan meskipun sejumlah persyaratan penting belum terpenuhi, termasuk hasil peninjauan desain, persetujuan Direktur Prasarana Perkeretaapian, penetapan trase dari Menteri Perhubungan, studi kelayakan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), dan pembebasan lahan.
Proyek Kereta Api Besitang-Langsa: Pelanggaran dan Pengaturan Lelang
Ketidaklengkapan dokumen proyek yang krusial, seperti kerangka acuan kerja, rencana anggaran biaya, spesifikasi teknis, dan dokumen studi kelayakan, serta ketiadaan proyek tersebut dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) TA 2017, semakin memperkuat dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan proyek ini. Nur Setiawan kemudian memecah proyek menjadi 11 paket pekerjaan konstruksi dengan nilai di bawah Rp100 miliar untuk menghindari ketentuan pekerjaan kompleks. Metode pelelangan pasca-kualifikasi pun digunakan, yang diduga dimanipulasi untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Prasetyo, bersama Nur Setiawan, Akhmad Afif, Rieki Meidi Yuwana (Kepala Seksi Prasarana), serta penerima manfaat dari PT Tiga Putra Mandiri Jaya dan PT Mitra Kerja Prasarana (MKP), Freddy Gondowardojo, diduga mengatur pemenang lelang. Mereka melakukan pertemuan dengan calon pemenang dan memberikan informasi terkait metode kerja, serta memasukkan persyaratan dukungan dari perusahaan pemilik Multi Tamping Tier (MTT), yang hanya dapat dipenuhi oleh PT MKP milik Freddy. Hal ini menunjukkan adanya kecurangan dan manipulasi dalam proses lelang.
Sebagai imbalan atas pengaturan lelang tersebut, Prasetyo, Nur Setiawan, Akhmad Afif, Halim Hartono (PPK Pekerjaan Konstruksi periode 2019—2022), dan Rieki menerima uang, barang, dan fasilitas dari Freddy dan Arista Gunawan (Team Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna). Penerimaan ini menjadi bukti kuat adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir.
Kerugian Negara dan Dakwaan Hukum
Akibat perbuatan para terdakwa, negara mengalami kerugian sebesar Rp1,16 triliun. JPU mendakwa Prasetyo dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menindak tegas para pelaku korupsi dan mengembalikan kerugian negara.
Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan yang ketat dalam setiap proyek pemerintah, terutama proyek infrastruktur berskala besar. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk mencegah terjadinya korupsi dan memastikan penggunaan anggaran negara secara efektif dan efisien. Proses pengadaan barang dan jasa harus bebas dari intervensi dan manipulasi untuk menghindari kerugian negara yang signifikan.
Sidang kasus ini masih berlanjut, dan publik menantikan perkembangan selanjutnya. Semoga proses hukum berjalan adil dan transparan, serta dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.