Hasto Kristiyanto: Tahanan Politik atau Terdakwa Korupsi? Kasus Perintangan Penyidikan Mengguncang
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menghadapi dakwaan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku, menyebut dirinya sebagai tahanan politik dan mempertanyakan independensi lembaga peradilan.
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, didakwa terkait kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi Harun Masiku. Sidang pembacaan surat dakwaan telah dimulai di Pengadilan Tipikor Jakarta. Hasto, yang mengaku percaya pada independensi lembaga peradilan, mengatakan kasus ini tidak menimbulkan kerugian negara dan menganggap dirinya sebagai korban kriminalisasi.
Pernyataan Hasto disampaikan Jumat lalu sebelum sidang pembacaan surat dakwaan. Ia menegaskan akan berjuang demi nilai-nilai demokrasi dan supremasi hukum. Namun, ia juga menekankan bahwa kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi hukum karena kepentingan kekuasaan, sehingga ia menganggap dirinya sebagai tahanan politik.
Hasto menilai surat dakwaan yang dibacakan merupakan "produk daur ulang" dari perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Ia juga mempertanyakan proses P21 yang dianggap terlalu dipaksakan, mengingat kondisinya yang sedang sakit dan proses penyidikan yang berlangsung sangat cepat, hanya sekitar dua minggu, jauh lebih singkat dari rata-rata 120 hari.
Tuduhan Kriminalisasi dan Pelanggaran HAM
Hasto Kristiyanto menganggap proses hukum yang menjeratnya sebagai bentuk kriminalisasi. Ia mengklaim bahwa hak-haknya sebagai terdakwa sengaja dilanggar, termasuk pengabaian saksi meringankan yang telah diajukan kepada KPK. Menurutnya, percepatan proses hukum ini bertujuan untuk menggugurkan proses praperadilan yang kedua. "Hak-hak saya sebagai terdakwa sengaja dilanggar. Ini adalah pelanggaran HAM yang sangat serius," tegas Hasto.
Ia juga mempertanyakan mengapa saksi-saksi yang telah diajukannya tidak pernah diperiksa oleh KPK. Menurutnya, ini menunjukkan adanya upaya untuk mempercepat proses hukum tanpa memperhatikan hak-hak terdakwa secara adil dan proporsional. Hasto menegaskan akan terus memperjuangkan keadilan dalam kasus ini.
Lebih lanjut, Hasto juga menyoroti proses P21 yang menurutnya terlalu cepat, hanya dalam waktu kurang lebih dua minggu, sementara rata-rata proses P21 di KPK mencapai 120 hari. Ia menduga percepatan ini terkait dengan upaya menggugurkan praperadilan yang sedang ia ajukan.
Dakwaan dan Peran Hasto
Dakwaan terhadap Hasto menyebutkan keterlibatannya dalam mengatur dan mengendalikan advokat Donny Tri Istiqomah untuk melobi Wahyu Setiawan, anggota KPU periode 2017-2022. Tujuannya adalah untuk menetapkan Harun Masiku sebagai calon anggota DPR terpilih dari Dapil Sumatera Selatan I.
Hasto juga didakwa mengatur dan mengendalikan Donny untuk menerima dan mengantarkan uang suap kepada Wahyu Setiawan melalui Agustiani Tio Fridelina. Selain itu, Hasto juga ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara perintangan penyidikan (obstruction of justice).
Meskipun menghadapi dakwaan yang serius, Hasto tetap menyatakan kepercayaannya terhadap independensi lembaga peradilan dan berharap keadilan akan ditegakkan. Ia menekankan bahwa kasus ini tidak menimbulkan kerugian negara dan menganggap dirinya sebagai korban kriminalisasi.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai independensi lembaga peradilan dan proses penegakan hukum di Indonesia. Publik menantikan bagaimana persidangan akan berlangsung dan keputusan yang akan diambil oleh majelis hakim.
Hasto Kristiyanto, dalam menghadapi dakwaan ini, menyatakan: "Sebab itulah, hakim dalam mengambil keputusan selalu menyatakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Kesimpulan
Kasus Hasto Kristiyanto menyoroti kompleksitas sistem peradilan dan politik di Indonesia. Pernyataan Hasto tentang kriminalisasi dan pelanggaran HAM perlu dikaji secara saksama. Publik menantikan proses persidangan yang transparan dan adil untuk memastikan tegaknya supremasi hukum.