Industri Tekstil Indonesia Terancam: Ribuan Pekerja PHK, Perlu Intervensi Cepat!
Penutupan pabrik tekstil dan PHK massal di Indonesia memperingatkan krisis industri, membutuhkan intervensi pemerintah segera untuk mencegah dampak sosial ekonomi yang lebih luas.
Industri tekstil dan garmen dalam negeri tengah menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Penutupan puluhan pabrik dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terjadi di berbagai daerah seperti Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, mengakibatkan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Situasi ini bukan hanya masalah sektoral, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak sosial ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.
Salah satu contoh nyata adalah penutupan operasional PT Sri Rejeki Isman (Sritex), perusahaan tekstil raksasa yang menyebabkan PHK massal. Data dari Asosiasi Produsen Benang Filament dan Serat Indonesia (APSYFI) menyebutkan setidaknya 61 pabrik tekstil telah tutup dan melakukan PHK sejak Januari 2023 hingga Desember 2024. Bahkan, laporan terbaru menyebutkan PT Mbangun Praja Industri juga telah tutup pada Januari 2025. Kondisi ini menunjukkan perlunya tindakan cepat dan tepat dari pemerintah.
Serbuan produk impor murah, baik legal maupun ilegal, menjadi salah satu penyebab utama permasalahan ini. Industri tekstil dalam negeri masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari tingginya biaya produksi, regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, hingga daya beli masyarakat yang menurun. Kondisi ini membuat produk lokal sulit bersaing dan terancam gulung tikar. Hal ini diperparah dengan kurangnya perlindungan yang memadai bagi industri tekstil dalam negeri.
Ancaman PHK Massal di Industri Tekstil: Sebuah Tanda Bahaya
Meskipun banyak yang menganggap industri tekstil sudah tidak relevan lagi di era otomatisasi dan industri berbasis teknologi, nyatanya industri ini masih menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Di berbagai negara, industri tekstil tetap dijaga sebagai sektor strategis dengan dukungan regulasi dan insentif yang mendorong daya saing.
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Chusnunia Chalim, menekankan perlunya pemerintah mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan industri padat karya yang tengah menghadapi tekanan besar. Kebijakan yang mendukung ekosistem industri tekstil dalam negeri sangat diperlukan, termasuk pengaturan impor yang lebih ketat agar tidak mempercepat kerusakan sektor ini. Negara lain seperti China, Vietnam, dan Bangladesh telah menerapkan kebijakan strategis untuk menjaga industri tekstil mereka tetap hidup, seperti memberikan insentif pajak dan membangun ekosistem yang lebih efisien.
Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSYFI, berharap pemerintah segera melakukan langkah pengendalian impor dan menghilangkan praktik impor yang merugikan industri dalam negeri. Ia juga menyoroti pentingnya penegakan hukum terhadap produk impor ilegal yang semakin menekan industri dalam negeri.
Tingginya biaya produksi, termasuk tarif listrik dan upah yang terus meningkat tanpa diimbangi peningkatan produktivitas, juga menjadi beban bagi industri tekstil. Perusahaan tekstil yang masih bertahan kini dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan dengan segala keterbatasan atau menutup usaha dan memindahkan produksi ke negara lain yang lebih kompetitif.
Perlu Intervensi Cepat Pemerintah untuk Selamatkan Industri Tekstil
Pengamat ketenagakerjaan dan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menegaskan perlunya pemerintah menerapkan langkah strategis untuk mencegah PHK besar-besaran di sektor industri padat karya. Intervensi cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mencegah kolapsnya industri tekstil nasional.
Beberapa langkah konkret yang dapat segera dilakukan antara lain: memperketat kembali pengamanan impor tekstil untuk membatasi impor yang tidak terkendali; memberikan insentif kepada industri tekstil lokal, baik berupa subsidi energi maupun akses pembiayaan yang lebih terjangkau; mendorong inovasi dan peningkatan efisiensi produksi melalui adopsi teknologi modern dan pengembangan produk dengan nilai tambah lebih tinggi; serta mengintensifkan kampanye nasional untuk mendorong masyarakat membeli produk dalam negeri.
Pentingnya meningkatkan kesadaran konsumen tentang pentingnya membeli produk lokal tidak hanya dari perspektif ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari upaya menjaga ketahanan industri nasional. Penegakan hukum juga perlu diperkuat untuk memberantas impor ilegal. Jika pengawasan tidak diperketat, barang ilegal akan terus masuk dan merugikan pasar tekstil dalam negeri.
Situasi ini merupakan peringatan serius bagi semua pihak tentang ketidakseimbangan dalam sistem ekonomi yang membutuhkan penyelesaian segera. Jika industri tekstil terus beroperasi dalam lingkungan yang tidak kondusif, ancaman PHK massal akan berdampak luas pada stabilitas sosial dan ekonomi negara.
Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan sektor tekstilnya. Pilihan ada di tangan semua elemen bangsa: membiarkan industri ini runtuh atau mengambil langkah berani untuk menyelamatkannya. Keputusan ini akan menentukan apakah Indonesia masih memiliki industri tekstil nasional yang kompetitif atau hanya menjadi pasar bagi produk impor. Sudah saatnya menanggapi tanda bahaya dari industri tekstil nasional.