KPK Kaji UU BUMN: Direksi dan Komisaris BUMN Bukan Penyelenggara Negara, Bagaimana Dampaknya?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji UU BUMN yang menyatakan direksi dan komisaris BUMN bukan penyelenggara negara, menganalisis implikasinya terhadap pemberantasan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah melakukan kajian mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Kajian ini dipicu oleh substansi UU BUMN yang menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN tidak lagi termasuk sebagai penyelenggara negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kajian tersebut dilakukan untuk memastikan efektivitas KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Anggota Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa kajian ini tidak hanya berfokus pada UU BUMN semata. KPK juga akan membandingkan UU BUMN dengan peraturan perundang-undangan lain yang relevan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan Undang-Undang Keuangan Negara. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan menghasilkan kesimpulan yang objektif.
Proses kajian ini penting karena menyangkut kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. KPK memiliki tugas pokok dalam pencegahan, penindakan, dan pendidikan antikorupsi. Dengan adanya perubahan status direksi dan komisaris BUMN, KPK perlu memastikan strategi pemberantasan korupsi tetap efektif dan mampu menjangkau seluruh potensi pelanggaran hukum.
Implikasi UU BUMN terhadap Kewenangan KPK
Pasal 9G UU BUMN terbaru secara tegas menyatakan bahwa "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara." Pernyataan ini bertolak belakang dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yang memberikan wewenang kepada KPK untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara.
Pasal 11 ayat (1) UU KPK menyebutkan bahwa KPK berwenang menangani kasus korupsi yang merugikan keuangan negara minimal Rp1 miliar dan melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dengan perubahan definisi penyelenggara negara dalam UU BUMN, muncul pertanyaan mengenai bagaimana KPK akan menangani potensi korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN.
KPK menyadari pentingnya intervensi pencegahan korupsi untuk mendorong praktik bisnis yang berintegritas dan menciptakan iklim bisnis yang bersih. Oleh karena itu, kajian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dan strategi yang tepat bagi KPK dalam menghadapi tantangan baru ini.
Kajian Komprehensif untuk Solusi yang Efektif
Budi Prasetyo menekankan bahwa kajian yang dilakukan KPK bersifat komprehensif dan bertujuan untuk menghasilkan kesimpulan yang objektif. KPK akan mempertimbangkan berbagai aspek hukum dan peraturan yang relevan untuk memastikan efektivitas strategi pemberantasan korupsi ke depannya.
UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang baru berlaku sejak 24 Februari 2025 telah mengubah UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Perubahan ini memerlukan penyesuaian dan pemahaman yang mendalam dari berbagai pihak, termasuk KPK, untuk memastikan keberlangsungan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hasil kajian KPK ini sangat dinantikan, karena akan memberikan gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah yang akan diambil KPK dalam menghadapi perubahan regulasi ini dan memastikan integritas dalam pengelolaan BUMN tetap terjaga.
KPK berkomitmen untuk terus berupaya memberantas korupsi di Indonesia, dan kajian ini merupakan bagian dari upaya adaptif untuk menghadapi perubahan dan tantangan hukum yang ada. Dengan pendekatan yang komprehensif dan objektif, diharapkan kajian ini akan menghasilkan solusi yang efektif untuk menjaga integritas dan transparansi dalam pengelolaan BUMN.