KPK Sita Bupati Situbondo, Pengamat Minta Dalami Peran Penyuap
Pengamat hukum mendesak KPK untuk mengungkap identitas penyuap dalam kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Bupati Situbondo, Karna Suswandi, dan Kepala Dinas PUPP, serta menjelaskan mekanisme suap yang terjadi.
Situbondo, Jawa Timur – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Bupati Situbondo, Karna Suswandi, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) setempat, Eko Prionggo Jati, terkait dugaan gratifikasi. Penahanan dilakukan pada Selasa (21 Januari 2025) setelah keduanya menjalani serangkaian pemeriksaan. Namun, seorang pengamat hukum, Dr. Supriyono SH.M.Hum, menekankan pentingnya KPK untuk mengungkap pihak pemberi suap dalam kasus ini.
Supriyono menyatakan, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) secara jelas mengatur sanksi pidana baik untuk penerima maupun pemberi suap. Menurutnya, penahanan kedua tersangka akan menimbulkan pertanyaan publik jika KPK tidak menelusuri lebih lanjut pihak yang memberikan gratifikasi.
Ia menambahkan, meskipun KPK mengklaim telah memiliki bukti yang cukup, hal tersebut masih perlu diuji di pengadilan. "Menurut penyidik KPK sudah punya dua alat bukti maupun bukti lain, tentunya itu juga dihormati. Tetapi nanti perlu diuji dalam persidangan di pengadilan," ujar Supriyono.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa penahanan kedua tersangka berlangsung selama 20 hari, mulai 21 Januari hingga 9 Februari 2025, di Rutan KPK. Kasus ini bermula dari perjanjian pinjaman daerah Program PEN tahun 2021 untuk proyek konstruksi di Dinas PUPR. Meskipun dana PEN batal digunakan, Pemkab Situbondo kemudian menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Namun, dalam proses pengadaan barang dan jasa tahun 2021-2024, Bupati Suswandi dan Eko diduga mengatur pemenang tender. Bupati diduga meminta ‘uang investasi’ sebesar 10 persen dari nilai proyek kepada calon rekanan. Eko, sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), diduga memerintahkan jajarannya untuk memenangkan rekanan pilihan Bupati.
Setelah rekanan menerima dana, Eko diduga meminta ‘fee’ sebesar 7,5 persen. KPK menyebut Suswandi menerima Rp5.575.000.000, sementara Eko menerima sekitar Rp811.362.200. Keduanya dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menyoroti pentingnya penyelidikan menyeluruh terhadap jaringan korupsi. Mengungkap pihak pemberi suap sama pentingnya dengan menjerat penerima suap. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum sangat krusial untuk mencegah kasus serupa di masa depan. KPK diharapkan dapat menuntaskan kasus ini secara profesional dan adil.