KPU Usul Jeda Pemilu dan Pilkada: Evaluasi Sistemik Diperlukan
Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, mengusulkan jeda waktu antara tahapan Pemilu dan Pilkada untuk menghindari beban berlebih bagi penyelenggara setelah Pemilu 2024 yang dinilai paling rumit.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin, mengusulkan adanya jeda waktu antara tahapan Pemilu dan Pilkada di masa mendatang. Usulan ini muncul sebagai respons atas padatnya jadwal penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dinilai terlalu mepet dan membebani penyelenggara pemilu. Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk 'Masa Depan Demokrasi Elektoral di Indonesia' di Menteng, Jakarta, Selasa (29/4).
Afifuddin menjelaskan, "Kalau bisa ada jeda waktu, karena kemarin itu beririsan banget. Belum selesai tahapan pemilu, pilpres, pileg, kita sudah bersiap pilkada." Beliau menilai Pemilu 2024 sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin dunia, karena penyelenggaraan serentak pilpres, pileg, dan pilkada dalam satu tahun belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi penyelenggara di semua tingkatan.
Pemilu 2024, menurut Afifuddin, menuntut KPU menjalankan "double burden" tanpa jeda yang cukup. "Kadang orang bertanya, KPU ngapain habis ini? Padahal tahapan pemilu itu minimal 22 bulan. Kalau lima tahun, tinggal tiga tahun untuk persiapan berikutnya," jelasnya. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya evaluasi sistemik terhadap desain waktu penyelenggaraan pemilu ke depan.
Evaluasi Sistemik Penyelenggaraan Pemilu
Afifuddin mengakui bahwa KPU sebagai pelaksana tidak memiliki kewenangan untuk mengubah desain pemilu. Kewenangan tersebut berada di tangan pembuat undang-undang. "KPU ini pelaksana saja. Kalau undang-undangnya lebih cepat, kita bisa rumuskan lebih baik. Tapi kalau dibahas belakangan, ya kita menyesuaikan," tambahnya. Meskipun demikian, usulan jeda waktu ini menjadi poin penting dalam evaluasi menyeluruh terhadap proses pemilu.
Ia berharap, penyelenggaraan pemilu mendatang dapat lebih ideal dan kolaboratif. Hal ini penting untuk menghadapi berbagai dinamika lokal dan persoalan teknis di lapangan, termasuk perbedaan signifikan antara UU Pemilu dan UU Pilkada. Kolaborasi antar lembaga penyelenggara menjadi kunci keberhasilan pemilu mendatang.
Tantangan yang dihadapi KPU dalam Pemilu 2024 sangat kompleks. Tumpang tindih tahapan pemilu dan pilkada menyebabkan beban kerja yang sangat berat. Hal ini memerlukan perencanaan yang matang dan kolaborasi yang erat antar lembaga terkait untuk memastikan proses pemilu berjalan lancar dan demokratis.
Perlunya Kolaborasi Antar Lembaga
Afifuddin menyoroti pentingnya kolaborasi antar lembaga penyelenggara pemilu. "Pemilu kita ini berat, maka tidak bisa seakan-akan semua tugas itu hanya KPU atau Bawaslu. Harus bareng-bareng," tegasnya. Pernyataan ini menekankan bahwa kesuksesan penyelenggaraan pemilu tidak hanya bergantung pada KPU, tetapi juga pada kerja sama dan koordinasi yang baik dengan lembaga terkait lainnya, seperti Bawaslu.
Usulan jeda waktu antara Pemilu dan Pilkada ini diharapkan dapat memberikan ruang yang cukup bagi KPU dan lembaga penyelenggara lainnya untuk mempersiapkan tahapan selanjutnya. Hal ini penting untuk menghindari kelelahan dan memastikan kualitas penyelenggaraan pemilu tetap terjaga. Dengan adanya jeda waktu yang cukup, diharapkan proses pemilu dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Pemilu yang demokratis dan berkualitas membutuhkan perencanaan yang matang dan kolaborasi yang kuat antar lembaga. Evaluasi sistemik dan usulan jeda waktu ini menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Kesimpulannya, usulan jeda waktu antartahapan Pemilu dan Pilkada merupakan langkah strategis untuk memperbaiki proses penyelenggaraan pemilu di masa mendatang, guna menghindari beban berlebih bagi penyelenggara dan memastikan kualitas pemilu tetap terjaga.