Lima Gajah Jinak di PIKG Tebo Jambi Jadi Wahana Edukasi dan Cegah Konflik
Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) Tebo, Jambi, memanfaatkan lima gajah jinak sebagai wahana edukasi dan solusi konflik satwa liar-manusia di kawasan Bukit Tiga Puluh.
Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) Tebo di Provinsi Jambi memelihara lima gajah jinak sebagai wahana edukasi dan untuk mencegah konflik antara gajah liar dan manusia. Plt. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Teguh Sriyanto, menjelaskan hal ini pada Minggu, 23 Februari. Kelima gajah tersebut didatangkan dari Lampung dan Sumatera Selatan untuk membantu mengurangi konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan Bukit Tiga Puluh. Upaya ini penting karena populasi gajah di kawasan tersebut cukup besar dan berpotensi menimbulkan masalah bagi masyarakat sekitar.
Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya BKSDA Jambi untuk mengelola populasi gajah dan mencegah konflik dengan manusia. Dengan adanya gajah jinak yang terlatih, diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif interaksi antara gajah liar dan penduduk sekitar. Program edukasi yang dijalankan PIKG juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi gajah dan cara hidup berdampingan dengan satwa liar.
Kawasan Bukit Tiga Puluh, yang merupakan habitat utama gajah di Jambi, memiliki populasi gajah yang signifikan. Keberadaan PIKG dan gajah jinak ini menjadi solusi penting dalam mengurangi potensi konflik. Selain itu, program edukasi yang terintegrasi diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap gajah, dari ancaman menjadi bagian penting dari ekosistem.
Mencegah Konflik Gajah dan Manusia di Bukit Tiga Puluh
Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Bentang Alam Bukit Tiga Puluh menjadi rumah bagi populasi gajah terbesar di Jambi, diperkirakan mencapai 129 ekor. Kawasan ini membentang dari Kabupaten Tebo hingga Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Keberadaan PIKG dengan lima gajah jinak menjadi strategi penting dalam pengelolaan populasi gajah dan pencegahan konflik.
Gajah-gajah jinak ini, yang dilatih oleh pawang atau mahout, berperan aktif dalam mengusir gajah liar yang mendekati pemukiman dan perkebunan warga. Dengan demikian, konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisir, dan kerugian ekonomi masyarakat akibat kerusakan tanaman dapat dikurangi.
Selain itu, PIKG juga menjalankan program edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perilaku gajah dan pentingnya menjaga habitatnya. Hal ini bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat yang selama ini seringkali salah kaprah dalam memandang konflik gajah dan manusia.
Teguh Sriyanto menekankan bahwa seringkali konflik yang terjadi bukan karena gajah memasuki pemukiman, melainkan karena habitat gajah telah berubah menjadi lahan perkebunan. "Bukan gajah masuk kebun, tapi habitatnya yang sudah menjadi kebun," katanya.
Edukasi dan Kesadaran Masyarakat
Salah seorang warga Jambi, Dian Kaprawi, yang tinggal di dekat KEE Desa Muaro Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, membenarkan bahwa keberadaan gajah liar di kawasan tersebut sudah menjadi hal biasa. "Sudah seminggu di sini, setiap hari selalu berjumpa gajah liar," ujarnya.
Ia juga menyaksikan langsung peran penting gajah jinak dan pawangnya dalam mencegah konflik. "Di dalam sini (Muaro Sekalo), ada gajah khusus yang dikendalikan pawang untuk mengusir gajah liar yang mendekati perkampungan," kata Dian.
Keberadaan PIKG dan program edukasi yang dijalankan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi gajah dan hidup berdampingan dengan satwa liar. Dengan demikian, konflik dapat dicegah dan kelestarian gajah di Jambi dapat terjaga.
Selain Bukit Tiga Puluh, kantong populasi gajah juga ditemukan di Hutan Harahap (Kabupaten Batanghari) dan daerah Bungo (dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat). Namun, pendataan populasi di Bungo masih terkendala karena letaknya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang membentang di empat provinsi.
Dengan adanya PIKG Tebo dan program-programnya, diharapkan dapat menjadi model pengelolaan konflik satwa liar dan konservasi gajah yang efektif dan dapat ditiru di daerah lain di Indonesia.