Literasi Koperasi: Kunci Pemanfaatan Bonus Demografi Indonesia
Rendahnya literasi koperasi di kalangan generasi muda Indonesia mengancam pemanfaatan bonus demografi, menuntut integrasi materi koperasi ke kurikulum nasional dan digitalisasi koperasi.
Sebuah survei oleh Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) mengungkapkan fakta mengejutkan: hanya 6 persen anggota koperasi berasal dari Generasi Z (usia 12-27 tahun). Minimnya minat generasi muda ini disebabkan oleh rendahnya literasi koperasi, yang diperparah oleh ketiadaan pendidikan koperasi yang memadai dalam kurikulum nasional. Kondisi ini menghambat peran koperasi sebagai pilar ekonomi kerakyatan di tengah upaya pemerintah meningkatkan daya saing UMKM.
Rendahnya literasi koperasi terlihat jelas dari kurangnya integrasi materi koperasi dalam kurikulum pendidikan. Di tingkat dasar dan menengah, koperasi hanya sepenggal kecil dalam pelajaran ekonomi atau kewarganegaraan. Di perguruan tinggi, pendidikan koperasi hanya ada di program studi tertentu dan tidak merata. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat koperasi seharusnya menjadi wadah pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya bagi generasi produktif yang sedang menikmati bonus demografi.
Padahal, kontribusi koperasi terhadap ekonomi nasional cukup signifikan. Pada tahun 2023, koperasi menyumbang 6,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, melampaui target RPJMN 2020-2024. UMKM, yang banyak bergantung pada koperasi, menyumbang lebih dari 61 persen terhadap PDB dan menyerap hampir 97 persen tenaga kerja. Koperasi bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga wadah pembelajaran dan solidaritas sosial.
Generasi Muda, Digitalisasi, dan Tantangan Koperasi
Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi hingga 2030, dengan lebih dari 70 persen penduduk berusia produktif (15-64 tahun). Ini adalah peluang emas untuk meningkatkan produktivitas dan konsumsi nasional. Namun, rendahnya literasi koperasi menyebabkan generasi muda lebih tertarik pada bisnis individualistik, seperti startup, dan kurang tertarik pada pendekatan ekonomi berbasis komunitas.
Survei Universitas Padjadjaran pada akhir 2023 menunjukkan bahwa 68 persen mahasiswa tidak memahami peran koperasi dalam perekonomian nasional. Mereka lebih familiar dengan pinjaman online daripada koperasi simpan pinjam. Selain itu, banyak koperasi masih dikelola secara konvensional, tertinggal dalam hal digitalisasi. Meskipun beberapa koperasi modern telah berinovasi, seperti koperasi petani di Banyuwangi yang menggunakan blockchain, jumlahnya masih sangat terbatas.
Pemerintah telah berupaya memodernisasi koperasi, dengan menargetkan 500 koperasi modern pada akhir 2024. Namun, upaya ini perlu diimbangi dengan peningkatan literasi koperasi di kalangan generasi muda. Kisah sukses Dwi Andika Irawan, pendiri startup logistik, menunjukkan bahwa inovasi anak muda dapat menjawab tantangan sektor esensial, tetapi perlu diiringi dengan pendidikan moral yang kuat.
“Bonus demografi tentu harus didukung dengan peningkatan lapangan kerja dan kualitas pendidikan,” ujar Dwi Andika Irawan, menekankan pentingnya pendidikan moral di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Kolaborasi dan Pendidikan Kolektif: Solusi untuk Meningkatkan Peran Koperasi
Untuk meningkatkan peran koperasi, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus mengintegrasikan materi koperasi ke dalam kurikulum nasional, dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi. Pendidikan koperasi dapat diintegrasikan ke dalam mata kuliah kewirausahaan atau ekonomi pembangunan.
Kedua, pemberian insentif bagi sekolah dan kampus yang mengembangkan koperasi siswa atau mahasiswa sebagai praktik kewirausahaan kolektif sangat penting. Inkubator koperasi berbasis kampus dapat menjadi laboratorium kewirausahaan sosial yang efektif. Ketiga, kolaborasi antara dunia usaha, koperasi, dan lembaga pendidikan tinggi perlu diperkuat melalui riset, magang, dan pendampingan.
Terakhir, kampanye literasi koperasi nasional yang menyasar pelajar, mahasiswa, dan pelaku UMKM muda sangat krusial. Kampanye ini harus mengubah persepsi bahwa koperasi adalah model bisnis kolektif yang mampu bersaing di era digital. Berbagai contoh keberhasilan koperasi dalam ekspor, seperti Koperasi Inovac di Aceh dan Koperasi Desa Ekspor Indonesia di Flores, dapat menjadi inspirasi.
Tantangan literasi koperasi berkaitan erat dengan arah pembangunan ekonomi nasional. Dengan memperkuat nilai-nilai kolektif dan partisipatif, Indonesia dapat membangun model pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Jika koperasi terus dikesampingkan, Indonesia berisiko kehilangan momentum pembangunan yang merata dan berkeadilan. Seperti yang dikatakan Bung Hatta, “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.” Pertanyaannya, apakah generasi muda kita masih memahami makna gotong royong ini tanpa pendidikan yang memadai?
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus menjadikan koperasi sebagai bagian integral dari strategi pembangunan nasional, bukan sekadar pelengkap narasi ekonomi kerakyatan.