Mahkamah Konstitusi Tolak Permintaan Ganti Rugi Tak Lazim atas UU TNI
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai permintaan ganti rugi miliaran rupiah kepada Presiden, Baleg, dan DPR terkait UU TNI baru sebagai hal yang tidak lazim dan di luar kewenangan MK.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang diajukan oleh dua mahasiswa. Permohonan tersebut menuntut Presiden, Badan Legislasi (Baleg), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membayar ganti rugi kepada negara senilai miliaran rupiah. Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 58/PUU-XXIII/2025 digelar di Jakarta pada Jumat lalu.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa permintaan ganti rugi tersebut tidak lazim dan berada di luar kewenangan MK. "Ini ada yang meminta Mahkamah untuk hukum Presiden, kemudian menghukum Baleg, dan seterusnya. Itu tidak lazim dan tidak sesuai dengan hukum acara di MK," tegasnya. Enny juga meminta pemohon untuk memahami kembali Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat turut menambahkan bahwa permohonan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara berpotensi ditolak. "Anda bisa bayangkan kalau permohonan Anda tidak memenuhi ketentuan, ya, tentunya bisa tidak dapat diterima," imbuhnya. Kedua hakim menekankan pentingnya pemohon untuk mematuhi hukum acara yang berlaku dalam pengujian undang-undang di MK.
Permintaan Ganti Rugi Miliaran Rupiah
Permohonan uji formal diajukan oleh Hidayatuddin, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Putera Batam, dan Respati Hadinata, mahasiswa Fakultas Teknik Informatika Politeknik Negeri Batam. Mereka meminta MK untuk menghukum Presiden, Baleg, dan DPR dengan pembayaran uang paksa (dwangsom) jika lalai menjalankan putusan Mahkamah.
Rinciannya, Presiden diminta membayar Rp12,5 miliar per hari, Baleg Rp2,5 miliar per hari, dan DPR Rp25 miliar per hari. Sebagai petitum alternatif, mereka meminta ganti rugi kepada negara sebesar Rp25 miliar untuk Presiden, Rp5 miliar untuk Baleg, dan Rp50 miliar untuk DPR, atas dugaan kelalaian dalam pembentukan UU TNI.
MK menilai permintaan tersebut sangat detail dan tidak lazim diajukan dalam konteks pengujian undang-undang. Mahkamah memberikan waktu dua pekan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka, dengan batas akhir penyerahan perbaikan pada Kamis, 22 Mei 2025.
Tanggapan MK dan Hukum Acara
Putusan MK menekankan pentingnya pemahaman dan kepatuhan terhadap hukum acara yang berlaku dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Permintaan yang diajukan oleh pemohon dianggap tidak sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang ditetapkan oleh MK. Hal ini menunjukkan bahwa MK berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum dan prosedur yang berlaku dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Permohonan yang diajukan oleh para pemohon dinilai tidak lazim karena meminta MK untuk menghukum Presiden, Baleg, dan DPR dengan sanksi finansial yang sangat besar. MK menegaskan bahwa kewenangannya terbatas pada pengujian undang-undang, bukan pada penjatuhan sanksi kepada pihak-pihak tertentu di luar konteks pengujian tersebut. Oleh karena itu, MK memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan agar sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Kasus ini menyoroti pentingnya pemahaman yang mendalam tentang hukum acara dan kewenangan MK dalam proses pengujian undang-undang. Permohonan yang tidak sesuai dengan prosedur dan kewenangan MK dapat berpotensi ditolak, seperti yang disampaikan oleh hakim konstitusi.
Putusan MK ini juga memberikan preseden penting bagi permohonan-permohonan serupa di masa mendatang. Putusan ini menegaskan bahwa MK akan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum dan prosedur yang berlaku dalam menjalankan tugas dan fungsinya, serta menolak permohonan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara.
Dengan memberikan waktu kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan, MK memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memahami dan memperbaiki kekurangan dalam permohonan mereka. Hal ini menunjukkan komitmen MK untuk memberikan kesempatan yang adil kepada semua pihak yang mengajukan permohonan ke MK.
Kesimpulan
Sidang ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman hukum acara dalam mengajukan permohonan ke MK. Permintaan ganti rugi yang tidak lazim dan di luar kewenangan MK menunjukkan perlunya perbaikan dalam permohonan tersebut agar sesuai dengan prosedur yang berlaku.