Mensos Terima Aspirasi Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto
Menteri Sosial menerima aspirasi penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dari masyarakat sipil dan organisasi internasional, dengan alasan pelanggaran HAM dan korupsi.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf pada Kamis (15/5) menerima aspirasi dari masyarakat sipil yang menolak usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Audiensi ini berlangsung setelah Gerakan Masyarakat Anti Soeharto (Gemas) menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Sosial (Kemensos) di Salemba, Jakarta. Mensos mendengarkan langsung aspirasi dan menerima dokumen petisi serta pernyataan bersama dari masyarakat sipil dan internasional yang menolak penganugerahan gelar tersebut.
Saifullah Yusuf menyatakan bahwa Kemensos akan mencatat dan mempertimbangkan semua masukan dari masyarakat, termasuk penolakan terhadap usulan tersebut. Ia menegaskan bahwa proses pengkajian usulan nama penerima gelar pahlawan nasional akan dilakukan secara detail dan objektif. Hal ini menunjukkan komitmen Kemensos untuk mendengarkan berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.
Audiensi tersebut dihadiri oleh Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial, Abdul Malik Haramain. Mereka menerima dokumen petisi dan pernyataan bersama sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait pemberian gelar pahlawan nasional.
Alasan Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto
Beberapa alasan penolakan disampaikan oleh perwakilan masyarakat sipil. Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menjelaskan bahwa penolakan tersebut didasarkan pada TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang masih berlaku. TAP MPR tersebut berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.
Usman Hamid juga menyinggung kasus korupsi besar yang melibatkan Soeharto, dengan nilai setidaknya 419 juta dolar AS. Ia menambahkan bahwa PBB, UNODC, dan Bank Dunia telah menetapkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin yang paling korup dalam program Stolen Asset Recovery. "Janganlah apa yang pernah jelas dalam sejarah dicatat sebagai sejarah pemerintahan dilupakan dengan menetapkan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional," tegas Usman Hamid.
Senada dengan Amnesty Internasional, Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Jane Rosalina, menilai usulan gelar pahlawan Soeharto bertentangan dengan integritas moral dan keteladanan. Kontras mencatat sembilan kasus pelanggaran HAM berat, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Soeharto selama Orde Baru. "Jadi kami sudah menyerahkan surat tertulis yang berupa tanggapan penolakan terhadap pengusulan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto," ujar Jane Rosalina.
Konteks dan Implikasi
Penolakan ini menimbulkan perdebatan publik mengenai kriteria pemberian gelar pahlawan nasional. Proses pengkajian dan pertimbangan yang dilakukan Kemensos diharapkan dapat mengakomodasi berbagai pandangan dan perspektif dari masyarakat. Transparansi dan objektivitas dalam proses tersebut sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas pemberian gelar pahlawan nasional.
Peristiwa ini juga menyoroti pentingnya pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM dan korupsi. Masyarakat sipil secara aktif mengawasi proses tersebut dan memastikan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional tidak mengabaikan sejarah dan keadilan. Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya pembelajaran dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Kemensos perlu mempertimbangkan semua aspek secara menyeluruh, termasuk dampak sosial dan politik dari keputusan yang akan diambil. Keputusan ini bukan hanya sekadar pemberian gelar, tetapi juga terkait dengan nilai-nilai sejarah, moral, dan keadilan bagi bangsa Indonesia.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspirasi dan bukti yang ada, diharapkan Kemensos dapat mengambil keputusan yang bijak dan adil terkait usulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.