MK Diskualifikasi Semua Paslon Pilkada Barito Utara 2024: PSU Berujung Polemik Politik Uang
Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi seluruh pasangan calon Pilkada Barito Utara 2024 karena terbukti melakukan politik uang dalam pemungutan suara ulang (PSU), sehingga PSU harus diulang dengan paslon baru.
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan mengejutkan dengan mendiskualifikasi seluruh pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati Barito Utara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Keputusan ini dibacakan pada Rabu di Jakarta, menyusul temuan praktik politik uang yang dilakukan oleh kedua paslon dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU). Putusan ini menimbulkan polemik dan menuntut penyelenggaraan PSU baru dengan paslon yang berbeda.
Ketua MK, Suhartoyo, membacakan amar putusan nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang menyatakan diskualifikasi Paslon Nomor Urut 1, Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo, dan Paslon Nomor Urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya. MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan PSU dengan paslon baru yang diajukan oleh partai politik pengusung. PSU harus diselesaikan dalam waktu maksimal 90 hari sejak putusan dibacakan.
Perkara ini bermula dari gugatan Paslon Nomor Urut 1 yang mempersoalkan hasil PSU di dua Tempat Pemungutan Suara (TPS). Meskipun awalnya Gogo dan Hendro kalah tipis dari Akhmad dan Sastra (42.239 suara vs 42.578 suara), MK menemukan bukti kuat praktik politik uang yang dilakukan oleh kedua paslon.
Praktik Politik Uang Kedua Paslon Terbukti
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan bahwa MK meyakini dalil politik uang yang diajukan. Bukti menunjukkan Akhmad dan Sastra terbukti melakukan pembelian suara melalui koordinator lapangan yang membagikan uang kepada calon pemilih. Namun, yang mengejutkan, investigasi MK juga menemukan bukti kuat bahwa Gogo dan Hendro juga terlibat dalam praktik yang sama.
Fakta persidangan mengungkapkan adanya pembelian suara dengan nilai fantastis. Untuk Paslon Nomor Urut 2, pembelian suara mencapai Rp16 juta per pemilih, bahkan ada saksi yang mengaku menerima Rp64 juta untuk satu keluarga. Sementara itu, Paslon Nomor Urut 1 juga terbukti melakukan praktik serupa dengan nilai mencapai Rp6,5 juta per pemilih, dengan janji umrah sebagai tambahan insentif bagi saksi yang menerima Rp19,5 juta untuk satu keluarga.
"Terhadap fakta hukum demikian, menurut Mahkamah, praktik money politics yang terjadi dalam penyelenggaraan PSU di TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru memiliki dampak yang sangat besar dalam perolehan suara hasil PSU masing-masing pihak," ujar Guntur.
Dampak dan Kesimpulan Putusan MK
MK menilai praktik politik uang yang dilakukan kedua paslon telah mencederai prinsip-prinsip pemilihan umum yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Praktik tersebut dianggap merusak integritas dan kejujuran pemilu. Oleh karena itu, MK memutuskan untuk mendiskualifikasi kedua paslon.
"Praktik demikian benar-benar telah merusak dan mendegradasi pemilihan umum yang jujur dan berintegritas. Dengan demikian, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan diskualifikasi terhadap pasangan calon," tegas Guntur. Keputusan ini memiliki implikasi besar terhadap penyelenggaraan Pilkada Barito Utara 2024 dan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana memastikan integritas pemilu di masa mendatang.
PSU yang akan datang harus memastikan pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah terulangnya praktik politik uang dan memastikan Pilkada Barito Utara 2024 berjalan dengan jujur dan adil. KPU memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan proses PSU berjalan lancar dan sesuai aturan, serta menjamin partisipasi masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka.