Oknum Polres Kaimana Diberhentikan Tidak Hormat: Kasus Penelantaran Keluarga hingga Rudapaksa
Polres Kaimana memberhentikan tidak hormat salah satu anggotanya, MEP, atas pelanggaran etika dan administratif berupa penelantaran keluarga, penganiayaan, dan perzinahan, dengan potensi kasus rudapaksa masih dalam proses hukum.
Kepolisian Resor (Polres) Kaimana, Papua Barat, mengambil tindakan tegas terhadap salah satu oknum anggotanya. MEP, seorang anggota polisi, diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) setelah terbukti melakukan pelanggaran berat. Kasus ini melibatkan berbagai pelanggaran serius, mulai dari penelantaran keluarga hingga dugaan kasus rudapaksa terhadap dua anak perempuan. Proses hukum yang panjang dan teliti telah dilalui sebelum keputusan PTDH ini dijatuhkan.
Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Kaimana, IPDA Ronny Sabandar, mengumumkan pemecatan tersebut pada Rabu di Kaimana. Ia menjelaskan, MEP terbukti bersalah dalam kasus penelantaran keluarga, penganiayaan, dan perzinahan. Keputusan ini berdasarkan Surat Keputusan Komisi Kode Etik Profesi Polri Nomor PUT/KKEP/01/III/2025/Propam tertanggal 3 Maret 2025, yang menyatakan perbuatan MEP tercela dan layak untuk di-PTDH.
Proses hukum yang melibatkan MEP diawali dengan saran hukum dari bagian pembina hukum Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat. Sidang kode etik pun digelar untuk memeriksa dan memutuskan sanksi yang tepat. Keputusan PTDH ini bukan tanpa proses; Polres Kaimana telah mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan memberikan kesempatan kepada MEP untuk membela diri.
Sidang Kode Etik dan Proses Hukum
Proses sidang kode etik terhadap MEP berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. MEP diberikan hak untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Meskipun telah diberhentikan, MEP masih diamankan selama 30 hari ke depan untuk memastikan proses hukum tetap berjalan. Hal ini memberikan waktu bagi yang bersangkutan untuk mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya.
Selain kasus penelantaran keluarga, penganiayaan, dan perzinahan, Polres Kaimana juga masih menyelidiki dugaan kasus rudapaksa yang dilakukan MEP terhadap dua anak perempuan. Propam Polres Kaimana masih menunggu pendapat dan saran hukum dari Polda Papua Barat terkait kasus ini. Berkas perkara telah dilengkapi oleh penyidik dari Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polres Kaimana dan siap untuk disidangkan setelah menerima saran hukum dari Polda Papua Barat.
IPDA Ronny Sabandar menekankan bahwa keputusan PTDH terhadap MEP merupakan bukti komitmen Polres Kaimana dalam menegakkan hukum dan kode etik kepolisian. Tindakan tegas ini diharapkan dapat menjadi peringatan bagi seluruh anggota untuk menghindari pelanggaran serupa. Ketaatan pada peraturan dan kode etik kepolisian sangat penting untuk menjaga citra dan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Peringatan Keras Bagi Anggota Polri
Kasus MEP menjadi pelajaran berharga bagi seluruh anggota Polres Kaimana dan kepolisian pada umumnya. Perbuatan yang dilakukan MEP tidak hanya merugikan institusi kepolisian, tetapi juga dirinya sendiri. Oleh karena itu, kesadaran dan kepatuhan terhadap aturan hukum dan kode etik kepolisian sangat penting untuk dijaga. "Kalau memang tidak bisa buat prestasi, minimal jangan buat pelanggaran dan ini peringatan bagi semua personel," tegas IPDA Ronny Sabandar.
Proses hukum yang sedang berjalan terhadap MEP juga menunjukkan komitmen penegakan hukum di lingkungan kepolisian. Tidak ada toleransi terhadap pelanggaran kode etik dan hukum, sebagaimana dibuktikan dengan keputusan PTDH yang telah dijatuhkan. Kasus ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi seluruh anggota kepolisian untuk selalu bertindak profesional dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
Dengan demikian, kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana institusi kepolisian menindak tegas anggotanya yang melakukan pelanggaran. Proses yang transparan dan sesuai prosedur hukum menjadi bukti komitmen dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia.