Ombudsman Soroti Kesiapan Gapoktan Salurkan Pupuk Bersubsidi
Ombudsman menemukan sejumlah kelemahan kesiapan Gapoktan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mendorong revisi margin dan regulasi teknis untuk mencegah malaadministrasi.
Jakarta, 30 April 2024 - Ombudsman Republik Indonesia menyoroti kesiapan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dalam menjalankan peran barunya sebagai penyalur pupuk bersubsidi. Implementasi ini, meskipun diharapkan meningkatkan akses petani dan pengawasan distribusi, menghadapi sejumlah tantangan signifikan yang berpotensi menimbulkan malaadministrasi.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan hasil uji petik di beberapa daerah seperti Pemalang (Jawa Tengah), Tanah Laut (Kalimantan Selatan), Maros (Sulawesi Selatan), dan Ngawi (Jawa Timur). Uji petik ini mengungkap bahwa sebagian besar Gapoktan belum siap sepenuhnya, terutama dalam hal permodalan, legalitas usaha, tata kelola administrasi, dan penguasaan teknologi informasi. "Hanya 50 persen Gapoktan yang memiliki izin usaha sebagai pengecer pupuk bersubsidi, dan 62 persen dinilai belum mampu dalam tata kelola keuangan," jelas Yeka.
Temuan ini menjadi perhatian serius karena berpotensi menghambat penyaluran pupuk bersubsidi secara efektif dan tepat sasaran kepada petani. Oleh karena itu, Ombudsman memberikan sejumlah rekomendasi penting kepada kementerian/lembaga terkait untuk mencegah potensi masalah ini.
Rekomendasi Ombudsman untuk Perbaikan Sistem Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Sebagai respons atas temuan tersebut, Ombudsman memberikan beberapa rekomendasi penting. Salah satu yang krusial adalah penyesuaian margin fee atau biaya margin bagi Gapoktan sebagai penyalur pupuk bersubsidi. Yeka menyarankan agar margin disamakan dengan penyaluran LPG subsidi 3 kilogram, yaitu Rp800 per kg. "Penyesuaian ini diharapkan dapat mendorong Gapoktan dan pengecer untuk meningkatkan profesionalisme, baik dari sisi manajerial maupun kelembagaan," ujarnya.
Selain penyesuaian margin, Ombudsman juga merekomendasikan penyusunan regulasi teknis yang jelas mengenai syarat dan prosedur penunjukan Gapoktan. Hal ini termasuk pembinaan dan pendampingan intensif, kemudahan akses permodalan melalui Himbara, BUMDes, atau skema lain termasuk bank garansi, serta pelaksanaan uji coba (piloting) secara bertahap sebelum implementasi nasional. Tujuannya adalah untuk memastikan proses penyaluran pupuk berjalan lancar dan terhindar dari potensi penyimpangan.
Ombudsman juga menekankan pentingnya persiapan matang pemerintah dalam implementasi Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi. "Jangan sampai saat pelaksanaannya nanti, belum ada perencanaan yang matang terkait Gapoktan yang akan menjadi pelaku baru dalam rantai pasok pupuk bersubsidi," tegas Yeka. Persiapan yang matang sangat penting untuk menghindari masalah di lapangan dan memastikan pupuk subsidi tepat sasaran.
Lebih lanjut, Yeka menambahkan bahwa kolaborasi yang erat antara pemerintah pusat dan daerah, BUMN, dan lembaga keuangan sangat penting untuk keberhasilan program ini. Dengan kerja sama yang baik, diharapkan implementasi Gapoktan sebagai titik serah pupuk bersubsidi dapat berjalan efektif dan memberikan manfaat besar bagi petani Indonesia.
Uji Petik dan Temuan Ombudsman
Uji petik yang dilakukan Ombudsman merupakan bagian dari upaya pencegahan malaadministrasi. Hasil uji petik tersebut telah disampaikan kepada perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia (Persero), serta PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) atau BRI. Tujuannya adalah untuk memberikan masukan dan mendorong perbaikan sistem penyaluran pupuk bersubsidi agar lebih efektif dan transparan.
Kesimpulannya, kesiapan Gapoktan dalam penyaluran pupuk bersubsidi masih perlu ditingkatkan. Rekomendasi Ombudsman yang komprehensif diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam memperbaiki sistem, mencegah malaadministrasi, dan memastikan pupuk bersubsidi tepat sasaran kepada petani yang berhak.