Pajak, Solusi Ajeg untuk Program Makan Bergizi Nasional
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) membutuhkan pendanaan berkelanjutan; optimalisasi pajak, bukan dana zakat, dinilai sebagai solusi yang lebih tepat dan ajeg.
Jakarta, 17 Februari 2025 - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Presiden Prabowo pada 6 Januari 2025, telah memicu diskusi mengenai sumber pendanaan yang tepat. Muncul usulan penggunaan dana zakat, namun hal ini menuai kontroversi karena berpotensi menyimpang dari prinsip syariat dan tujuan awal pengumpulan zakat.
Mengapa Pajak Lebih Tepat?
Penggunaan dana zakat untuk MBG dinilai kurang tepat karena program ini menjangkau seluruh siswa, termasuk dari keluarga mampu. Hal ini bertentangan dengan prinsip distribusi zakat yang ditujukan bagi mustahik (yang berhak menerima zakat) seperti fakir miskin. Lebih lanjut, penggunaan dana zakat yang tidak tepat dapat merusak kepercayaan publik dan melemahkan peran zakat dalam pemberdayaan ekonomi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan sumber pendanaan yang lebih ajeg dan sesuai aturan, yaitu pajak. Pajak, yang berasal dari kata "ajeg" dalam bahasa Jawa yang berarti tetap atau tidak berubah, menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam pengalokasian dana.
Optimalisasi Pajak untuk MBG
Pemerintah dapat mengoptimalkan pajak melalui beberapa mekanisme, salah satunya earmarking, yaitu pengalokasian khusus penerimaan pajak untuk tujuan tertentu. Earmarking dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap penggunaan pajak.
Beberapa opsi earmarking yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Earmarking PPN dari sektor makanan dan minuman: PPN merupakan penyumbang terbesar penerimaan negara. Mengalokasikan sebagian penerimaan PPN dari sektor ini untuk MBG merupakan langkah logis dan tidak memerlukan pengenaan pajak baru.
- Earmarking pajak restoran: Pajak restoran yang dipungut pemerintah daerah dapat dialokasikan sebagian untuk MBG, sehingga pemerintah daerah dapat berkontribusi pada program gizi anak-anak sekolah di wilayahnya.
- Implementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK): Pengenaan cukai MBDK, selain untuk pengendalian konsumsi, dapat menghasilkan penerimaan signifikan yang dapat dialokasikan untuk MBG. CISDI memperkirakan potensi penerimaan hingga Rp6 triliun per tahun.
Implementasi cukai MBDK juga relevan mengingat tingginya konsumsi MBDK di kalangan anak-anak sekolah (66 persen mengonsumsi sekali sehari atau lebih, data Riset Kesehatan Dasar 2018). Hal ini penting untuk menekan dampak kesehatan jangka panjang.
Potensi Cukai Rokok dan DBH CHT
Kenaikan tarif cukai rokok juga dapat memberikan dampak positif pada penerimaan negara. Namun, penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) diatur ketat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021. Untuk menggunakan dana cukai rokok untuk MBG, perlu revisi PMK atau memasukkan MBG ke dalam kategori alokasi DBH CHT yang sudah ada, misalnya pembinaan lingkungan sosial atau kesejahteraan masyarakat.
Koordinasi lintas sektor dan kajian di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sangat dibutuhkan untuk memastikan program MBG tetap sejalan dengan prioritas yang telah ditetapkan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, optimalisasi pajak, melalui earmarking atau implementasi cukai MBDK, merupakan solusi yang lebih ajeg dan sesuai aturan untuk mendanai MBG. Hal ini lebih efektif dan transparan dibandingkan dengan menggunakan dana zakat yang memiliki fungsi dan regulasi tersendiri.
*) Ismail Khozen adalah Manajer Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies, Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia