Paus Leo XIV Lanjutkan Pesan Perdamaian Paus Fransiskus
Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, mengungkapkan bahwa Paus Leo XIV melanjutkan pesan perdamaian pendahulunya, Paus Fransiskus, dengan menyerukan keadilan sebagai fondasi perdamaian dunia.
Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Minggu lalu, di Jakarta, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo menyampaikan bahwa Paus Leo XIV melanjutkan pesan perdamaian yang digaungkan pendahulunya, Paus Fransiskus. Pernyataan ini disampaikan usai Misa Syukur atas pelantikan Paus Leo XIV di Gereja Katedral Jakarta yang dihadiri ribuan umat Katolik. Paus Leo XIV, menurut Kardinal Suharyo, menyadari kompleksitas perdamaian dan menyerukan upaya mengakhiri konflik di berbagai belahan dunia seperti Gaza, Ukraina, dan Sudan. Hal ini dilakukan untuk melanjutkan komitmen perdamaian yang telah dicanangkan Paus Fransiskus.
Konteks pelantikan Paus Leo XIV ini penting karena ia melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Gereja Katolik. Pelantikan ini menandai babak baru bagi Gereja Katolik dalam menghadapi tantangan global, termasuk konflik bersenjata dan perkembangan teknologi yang pesat. Kardinal Suharyo menekankan pentingnya peran Paus Leo XIV dalam memimpin Gereja Katolik menuju arah yang lebih baik, sejalan dengan cita-cita Paus Fransiskus.
Ribuan umat Katolik turut serta dalam Misa Syukur, dipimpin oleh Duta Besar Tahta Suci Vatikan untuk Indonesia dan Uskup Agung Jakarta. Peristiwa ini menandakan dukungan luas terhadap Paus Leo XIV dan harapan akan kepemimpinan yang membawa perdamaian dan keadilan bagi dunia. Misa tersebut juga menjadi momentum refleksi atas pesan perdamaian yang terus digaungkan oleh Gereja Katolik di tengah berbagai konflik global.
Paus Leo XIV dan Komitmen Perdamaian
Kardinal Suharyo menjelaskan bahwa Paus Leo XIV berkomitmen untuk melanjutkan upaya perdamaian yang telah dirintis oleh Paus Fransiskus. Hal ini tercermin dalam komunike yang dikeluarkan setelah pertemuan para kardinal, yang menyerukan diakhirinya konflik di berbagai wilayah konflik. Paus Leo XIV menekankan pentingnya keadilan sebagai fondasi perdamaian, menggantikan paradigma lama yang mengaitkan perdamaian dengan kekuatan militer. Paus Leo XIV mengusung prinsip "si vis pacem para iustitia", yang berarti "jika kamu menginginkan perdamaian, tegakkanlah keadilan".
Sebelum konklaf pemilihan Paus, para kardinal telah mendiskusikan arah Gereja Katolik di masa depan. Mereka menginginkan pemimpin yang mampu menghadapi tantangan zaman dan melanjutkan warisan Paus Fransiskus. Para kardinal sepakat bahwa Gereja membutuhkan seorang gembala, bukan diplomat atau akademisi. Hal ini menunjukkan harapan akan kepemimpinan Paus Leo XIV yang berfokus pada pelayanan spiritual dan pastoral.
Meskipun belum banyak diketahui tentang rencana Paus Leo XIV, Kardinal Suharyo memperkirakan bahwa ensiklikal yang akan ditulisnya akan menunjukkan arah kepemimpinannya. Nama "Leo" sendiri mengingatkan pada Paus Leo XIII yang menulis ensiklikal Rerum Novarum pada tahun 1891, yang merespon tantangan revolusi industri.
Tantangan di Era Teknologi Modern
Kardinal Suharyo menyinggung tantangan teknologi modern, khususnya perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI). Ia mengakui bahwa AI dapat meningkatkan efisiensi, misalnya dalam penulisan skripsi, tetapi juga menyoroti pentingnya menjaga sisi kemanusiaan. Perkembangan teknologi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja Katolik dalam menjalankan misi dan nilai-nilai kemanusiaannya. Paus Leo XIV diharapkan mampu memberikan arahan yang bijak dalam menghadapi perkembangan teknologi ini.
Misa syukur yang dihadiri ribuan umat Katolik menunjukkan dukungan yang besar terhadap Paus Leo XIV. Kehadiran Duta Besar Tahta Suci Vatikan untuk Indonesia dan Uskup Agung Jakarta semakin mengukuhkan pentingnya peristiwa ini bagi Gereja Katolik di Indonesia. Kepemimpinan Paus Leo XIV diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi Gereja Katolik dan dunia.
Paus Leo XIV melanjutkan komitmen perdamaian pendahulunya, dengan menekankan pentingnya keadilan sebagai fondasi perdamaian dunia. Tantangan global, termasuk konflik dan perkembangan teknologi, menuntut kepemimpinan yang bijak dan responsif. Ensiklikal yang akan ditulisnya akan menjadi panduan bagi Gereja Katolik dalam menghadapi masa depan.