Pemakzulan Wapres: Ujian Kesetiaan Indonesia pada Konstitusi
Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menguji komitmen Indonesia pada konstitusi dan penegakan hukum, bukan sekadar pertarungan politik.
Jakarta, 27 April (ANTARA) - Dinamika politik pasca-pemilihan umum kembali menguji kedewasaan berdemokrasi Indonesia. Munculnya wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh sebagian kalangan memicu perdebatan sengit antara mereka yang mendukung dan menentang langkah tersebut. Perdebatan ini menyoroti isu krusial: pemakzulan versus penegakan konstitusi dalam negara demokrasi.
Wacana pemakzulan ini, bagi sebagian pihak, merefleksikan ketegangan yang lumrah dalam masa transisi kepemimpinan. Namun, esensi dari negara hukum yang berlandaskan konstitusi adalah menempatkan setiap perdebatan kekuasaan dalam koridor aturan dasar yang telah disepakati bersama. Indonesia bukanlah sekadar kumpulan kepentingan politik yang saling berbenturan, melainkan tatanan hukum yang menjadikan hukum sebagai panglima.
Oleh karena itu, mekanisme pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden harus melalui jalur formal, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 7A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan atas usul DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuduhan dan pembuktian pelanggaran berat, seperti pengkhianatan negara, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya. Upaya pencopotan di luar ketentuan ini bertentangan dengan semangat konstitusi.
Pro dan Kontra dalam Demokrasi
Suara pro dan kontra merupakan hal yang wajar dalam negara demokrasi. Koordinator Tim Hukum Merah Putih, C. Suhadi, misalnya, mengingatkan bahwa desakan di luar mekanisme hukum merupakan tindakan yang melampaui batas. Beliau menegaskan bahwa putusan MK terkait batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, seluruh proses politik, dari pencalonan hingga pelantikan, telah berlangsung sesuai hukum yang berlaku. M mempertanyakan keabsahan jabatan wakil presiden setelah pelantikan hanya akan menciptakan perpecahan yang tidak perlu.
Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua kekecewaan berakar dari niat buruk. Ketidakpuasan seringkali muncul dari kekhawatiran mendalam terhadap arah bangsa ke depan. Rasa cemas dan ketidakpuasan, betapapun kuatnya, harus disalurkan melalui jalur konstitusional.
Studi kasus pemakzulan di negara lain, seperti Amerika Serikat, menunjukkan proses yang ketat dan memerlukan tuduhan serius, seperti "high crimes and misdemeanors." Presiden Andrew Johnson, Bill Clinton, dan Donald Trump pernah menghadapi upaya pemakzulan, tetapi tidak semuanya berakhir dengan pemberhentian. Hal ini menekankan pentingnya prosedur hukum dan politik yang adil dan transparan.
Tinjauan Akademis Pemakzulan
Penelitian Gerhardt (1999) dalam 'The Federal Impeachment Process' menyoroti bahwa pemakzulan bertujuan untuk mempertahankan tatanan konstitusi, bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan politik. Prosesnya harus berlandaskan bukti nyata dan tidak boleh menjadi alat politik partisan.
Di Indonesia, studi Prof. Jimly Asshiddiqie (2010) dan penelitian Yance Arizona dalam jurnal Constitutional Review (2017) menekankan pentingnya bukti hukum yang kokoh dalam proses pemakzulan. Mereka memperingatkan bahaya penggunaan pemakzulan sebagai instrumen politik praktis dan menekankan perlunya proses yang transparan dan akuntabel.
Amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi, khususnya Pasal 7A dan 7B, merinci prosedur pemakzulan untuk mencegah krisis politik. Pemakzulan bukanlah mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan politik biasa, melainkan untuk menegakkan akuntabilitas dalam pelanggaran berat.
Penghormatan terhadap Hukum dan Institusi
Demokrasi mengajarkan bahwa bahkan ketidakpuasan pun memiliki aturannya. Penghormatan terhadap hukum adalah syarat mutlak bagi ketertiban bersama. Bangsa Indonesia perlu membangun kepercayaan terhadap institusi negara seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, KPU, dan MPR. Merusak institusi negara hanya karena ketidaksetujuan terhadap hasil yang sah secara konstitusi sama sekali tidak dibenarkan.
Wakil Presiden terpilih mengemban amanah sebagai simbol pilihan rakyat. Setiap upaya untuk menggoyahkan posisinya tanpa dasar hukum akan memperlemah kepercayaan publik terhadap demokrasi. Indonesia membutuhkan ketenangan dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. Kekuatan bangsa tidak diukur dari kerasnya suara yang berselisih, melainkan dari keteguhan berpegang pada prinsip keadilan dan hukum.
Wacana pelengseran Wakil Presiden ini bukan hanya tentang sosok Gibran, melainkan tentang kesetiaan bangsa pada konstitusi, akal sehat, dan komitmen menjaga persatuan. Daripada memperpanjang polemik, lebih bijak untuk fokus pada pembangunan negara dengan kerja nyata, dialog sehat, dan penghormatan penuh terhadap hukum.
Indonesia telah melewati banyak ujian. Ujian kali ini menguji kesetiaan bangsa pada konstitusi dan komitmen untuk menjaga persatuan di atas segala perbedaan.