Pria Ancam Sebar Video Vulgar, Tersangka Kasus LGBT di Kaltara Terancam 12 Tahun Penjara
Polda Kaltara mengungkap kasus dugaan LGBT yang melibatkan seorang pria yang mengancam menyebarkan video vulgar korbannya, seorang pelajar, dan terancam hukuman 12 tahun penjara.
Kepolisian Daerah Kalimantan Utara (Polda Kaltara) berhasil mengungkap kasus dugaan tindak pidana yang melibatkan unsur lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Kasus ini bermula dari laporan seorang pelajar di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, yang menjadi korban ancaman penyebaran video vulgar oleh pelaku. Pelaku, seorang pria berinisial TP (33) warga Mojokerto, Jawa Timur, ditangkap setelah melakukan serangkaian tindakan kejahatan yang menyebabkan trauma mendalam pada korban.
Kronologi kasus ini berawal dari perkenalan pelaku dan korban melalui aplikasi Walla pada Februari 2025. Pelaku, yang merupakan salah satu dari tiga agensi terbesar di Indonesia dalam aplikasi tersebut, menjanjikan peningkatan peringkat akun korban dengan syarat mereka menjalin hubungan asmara. Modus ini kemudian berlanjut dengan pertukaran nomor WhatsApp dan video call yang kerap berujung pada permintaan pelaku agar korban bertelanjang di depan kamera, yang kemudian direkam tanpa sepengetahuan korban.
Setelah berhasil merekam video vulgar korban, pelaku melakukan pemerasan dengan meminta uang hingga mencapai Rp8 juta. Ancaman penyebaran video tersebut semakin memperparah kondisi korban, yang akhirnya mengalami trauma dan enggan bersekolah. Kejadian ini terungkap setelah guru korban melaporkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian. Polisi kemudian melakukan penyelidikan dan berhasil menangkap TP di Mojokerto pada 7 Maret 2025.
Pengungkapan Kasus dan Tindakan Hukum
Dalam konferensi pers di Tanjung Selor, Selasa, Kabid Humas Polda Kaltara Kombes Budi Rachmat menjelaskan detail kasus tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pelaku memanfaatkan aplikasi Walla untuk mendekati korban dan melancarkan aksinya. "Pelaku menjanjikan akan menaikkan rating akun korban ketika live di aplikasi itu, dengan syarat mereka harus pacaran," jelas Kombes Budi. Setelah menjalin hubungan, pelaku secara intensif melakukan video call dan merekam korban tanpa sepengetahuannya.
Lebih lanjut, Kombes Budi menjelaskan bahwa pelaku juga melakukan pemerasan dengan meminta sejumlah uang kepada korban. "Selama mereka menjalin hubungan ini, pelaku sering meminta uang kepada korban dengan alasan meminjam, bahkan totalnya sudah sampai Rp8 juta," ungkapnya. Puncaknya, ketika korban menolak memberikan uang lagi, pelaku mengancam akan menyebarkan video vulgar tersebut ke grup WhatsApp yang beranggotakan guru dan teman-teman korban.
Ancaman tersebut terbukti berdampak buruk pada korban. "Dia (pelaku) buat grup WhatsApp yang isinya guru dan teman-teman korban, videonya dia kirim ke grup itu hingga viral dan korban langsung trauma dan tidak ingin sekolah lagi," ungkap Kombes Budi. Tindakan pelaku ini telah menyebabkan korban mengalami trauma psikologis yang signifikan.
Atas perbuatannya, TP dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang ITE, dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman yang dihadapi TP cukup berat, yaitu 12 tahun penjara atau denda Rp200 juta.
Peran Aplikasi Walla dan Dampaknya
Kasus ini menyoroti potensi penyalahgunaan aplikasi media sosial, khususnya aplikasi Walla. Kejadian ini menjadi pengingat akan pentingnya kewaspadaan dan perlindungan bagi pengguna, terutama anak-anak dan remaja, dalam menggunakan platform digital. Penting bagi orang tua dan pendidik untuk memberikan edukasi mengenai keamanan online dan potensi bahaya yang mengintai di dunia maya.
Polda Kaltara juga menekankan pentingnya peran orang tua dan guru dalam mengawasi aktivitas anak-anak di dunia maya. Deteksi dini terhadap perilaku mencurigakan dan edukasi mengenai keamanan online sangat krusial untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang. Selain itu, perlu adanya kerjasama antara pihak kepolisian dan pengelola aplikasi Walla untuk meningkatkan keamanan dan mencegah penyalahgunaan platform tersebut.
Kasus ini juga menjadi perhatian publik terkait perlindungan anak dan perempuan. Perlu adanya peningkatan kesadaran dan upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan seksual dan pemerasan yang memanfaatkan teknologi digital. Penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak dan perempuan agar mereka terhindar dari ancaman kejahatan serupa.
Sebagai penutup, kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Pentingnya kewaspadaan dalam berinteraksi di dunia maya, serta peran aktif orang tua dan guru dalam melindungi anak-anak dari ancaman kejahatan, harus terus digaungkan. Semoga kasus ini dapat menjadi contoh dan pembelajaran bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang kembali.