Relokasi Industri ke RI: Peluang Emas di Tengah Perang Dagang AS-China
Pengenaan tarif impor oleh AS terhadap barang impor China mendorong relokasi industri ke Indonesia, memberikan peluang besar bagi perekonomian Indonesia namun membutuhkan reformasi.
Jakarta, 7 Februari 2024 - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Septian Hario Seto, menyatakan tren relokasi industri ke Indonesia semakin terlihat seiring dengan pengenaan tarif impor 10 persen oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk impor dari China. Seto mencatat beberapa perusahaan telah memulai relokasi, salah satunya ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan pabrik di Jawa Barat.
Relokasi Industri: Sebuah Peluang bagi Indonesia
Dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Seto menjelaskan, "Ada satu perusahaan yang baru-baru ini melakukan groundbreaking pabrik di Jawa Barat. Pabrik ini akan mengekspor 100 persen produknya ke Amerika. Ini menunjukkan adanya tren relokasi, tetapi kita perlu bekerja lebih keras agar lebih banyak perusahaan yang pindah ke Indonesia."
Pernyataan Seto ini disampaikan setelah pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto, bersama anggota DEN lainnya, Chatib Basri dan Firman Hidayat. Pertemuan tersebut membahas dampak kebijakan Presiden AS Donald Trump, termasuk pengenaan tarif impor baru terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Tarif ini mencapai 25 persen untuk impor dari Kanada dan Meksiko, serta 10 persen untuk impor dari China.
Dampak Perang Dagang AS-China terhadap Indonesia
Chatib Basri menjelaskan potensi perang dagang AS-China dan tarif impor 10 persen tersebut. Menurutnya, perusahaan-perusahaan dengan basis produksi di China akan cenderung memindahkan industrinya ke negara-negara yang tidak dikenakan tarif impor, termasuk Indonesia. Ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi asing.
Namun, Chatib mengingatkan, "Vietnam juga menjadi target investasi relokasi industri. Jika Vietnam penuh, maka perusahaan akan beralih ke Indonesia. Jadi, ada simulasi yang menunjukkan Indonesia diuntungkan dari situasi ini."
Reformasi untuk Memanfaatkan Peluang
Indonesia perlu melakukan berbagai reformasi untuk menarik investasi dan memanfaatkan peluang ini secara maksimal. Perbaikan iklim investasi, kebijakan yang konsisten, dan kemudahan berusaha menjadi kunci utama. Sektor manufaktur dan industri lain yang sebelumnya berbasis di China menjadi sektor yang berpotensi mengalami relokasi.
Perusahaan akan mencari lokasi produksi dengan biaya lebih kompetitif untuk menghindari tarif tinggi dari AS. Chatib menekankan pentingnya reformasi birokrasi melalui digitalisasi atau GovTech untuk mempercepat proses administrasi dan meningkatkan daya tarik investasi.
Ia menambahkan, "Percepatan digitalisasi dalam sistem pemerintahan dapat memperbaiki iklim investasi dan memastikan Indonesia meraih manfaat dari pergeseran rantai pasok global ini."
Kesimpulan
Relokasi industri akibat perang dagang AS-China menawarkan peluang ekonomi yang signifikan bagi Indonesia. Namun, keberhasilan dalam menarik investasi dan memanfaatkan peluang ini bergantung pada kesiapan Indonesia dalam melakukan reformasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat menjadi destinasi utama bagi perusahaan-perusahaan yang mencari lokasi produksi baru.