Revisi UU Perlindungan Anak: Adaptasi Mendesak di Era Digital
Ahli hukum pidana anak, Ahmad Sofyan, mendorong amandemen UU Perlindungan Anak untuk mengatasi celah hukum perlindungan anak di dunia digital yang semakin kompleks.
Jakarta, 24 April 2024 - Ahli hukum pidana anak, Ahmad Sofyan, menyerukan revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seruan ini muncul sebagai respons terhadap perkembangan teknologi digital yang menciptakan celah hukum dalam melindungi anak-anak di dunia siber. Beliau menekankan perlunya adaptasi hukum untuk menghadapi tantangan baru ini, yang semakin kompleks dan memerlukan payung hukum yang komprehensif.
Dalam seminar nasional bertajuk 'Dari Refleksi Jadi Aksi: Tantangan Digital dan Solusi dalam Konteks Lokal dan Nasional Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak', Ahmad Sofyan menyatakan, "Perlu ada amandemen ketiga Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002. Perlu ada amandemen yang mengintegrasikan," menunjukkan urgensi revisi UU Perlindungan Anak untuk mengakomodasi realita digital.
Ketiadaan regulasi yang spesifik untuk perlindungan anak di dunia maya menjadi perhatian utama. UU Perlindungan Anak saat ini dinilai kurang memadai dalam menangani kejahatan siber yang melibatkan anak-anak. Sofyan menjelaskan, "Undang-Undang ini memang tidak dirancang secara khusus dalam melindungi anak di dunia digital. Lebih pada dirancang untuk melindungi anak-anak di dunia nyata. Karena itu ada kekosongan hukum untuk pelindungan anak di dunia siber."
Perlu Integrasi Regulasi Perlindungan Anak
Saat ini, perlindungan anak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terpisah-pisah. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum. Beberapa peraturan yang relevan meliputi UU Perlindungan Anak, UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Ahmad Sofyan menyoroti kompleksitas tersebut. Ia menjelaskan, "Ada lima undang-undang untuk menemukan perbuatan-perbuatan yang dilanggar oleh pelaku-pelaku kejahatan. Dan itu juga menyulitkan penegak hukum karena tersebar." Kondisi ini menghambat proses hukum dan penegakan keadilan bagi korban kejahatan yang melibatkan anak.
Sistem hukum yang terfragmentasi ini membuat penanganan kasus menjadi kurang efisien. Proses identifikasi pelanggaran hukum menjadi lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Akibatnya, perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban kejahatan digital terhambat.
Urgensi Revisi UU Perlindungan Anak
Revisi UU Perlindungan Anak sangat penting untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang lebih terintegrasi dan efektif, khususnya di era digital. Dengan revisi, diharapkan akan ada payung hukum yang komprehensif dan terpadu untuk melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kejahatan di dunia maya.
Revisi ini juga akan memberikan kepastian hukum bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anak di dunia digital. Dengan regulasi yang jelas dan terintegrasi, proses penegakan hukum akan lebih efisien dan efektif.
Selain itu, revisi UU Perlindungan Anak juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak di dunia digital. Dengan adanya regulasi yang kuat, diharapkan masyarakat akan lebih peduli dan proaktif dalam melindungi anak-anak dari ancaman kejahatan di dunia maya.
Kesimpulannya, amandemen UU Perlindungan Anak merupakan langkah krusial dalam melindungi anak-anak di era digital. Integrasi regulasi dan penyederhanaan proses hukum akan memperkuat perlindungan anak dan memastikan penegakan hukum yang efektif dan efisien.