Selektif, DPR Tekankan Penempatan TNI di Jabatan Sipil
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menekankan pentingnya seleksi ketat dalam penempatan anggota TNI di jabatan sipil, guna menghindari potensi konflik kepentingan dan mempertimbangkan karier ASN yang sudah ada.
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menyoroti pentingnya penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil secara selektif. Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Senayan, Jakarta, Senin (3/3), terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Pertimbangan selektivitas ini muncul sebagai respon terhadap wacana yang memungkinkan anggota TNI menduduki jabatan sipil, sebuah isu yang tengah dibahas secara intensif.
Hasanuddin menekankan tiga hal krusial dalam penempatan tersebut: kebutuhan mendesak terhadap keahlian anggota TNI bersangkutan, permintaan resmi dari kementerian terkait, dan kapabilitas yang sesuai. Ia menjelaskan, "Misalnya dia memang sangat dibutuhkan, dan kemudian harus sesuai dengan permintaan menterinya, dan ketiga juga harus kapabel." Hal ini penting untuk menghindari potensi tumpang tindih dan ketidakadilan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah mengabdi dalam kementerian/lembaga tersebut.
Lebih lanjut, Hasanuddin menjelaskan bahwa meskipun Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) Nomor 20 Tahun 2023 memperbolehkan anggota TNI menduduki jabatan ASN tertentu, proses seleksi tetap harus diterapkan secara ketat. Menurutnya, penempatan yang tidak selektif berpotensi merugikan ASN yang telah berkarir panjang dan memiliki kompetensi di bidangnya. "Boleh saja sebuah jabatan itu diisi oleh militer. Ada dalam Undang-Undang ASN, tetapi harus selektif menempatkannya," tegasnya.
Selektivitas dan Kompetensi: Kriteria Utama Penempatan TNI
Hasanuddin memberikan contoh penempatan yang selektif, yaitu menempatkan anggota TNI yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang pertanian, misalnya lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), di Kementerian Pertanian. Hal ini berbeda dengan penempatan anggota TNI yang hanya memiliki latar belakang pendidikan militer. Ia menambahkan, "Kalau hanya lulus Akademi Militer, mohon maaf, kami kan belajarnya hanya bertempur. Akan tetapi, kalau ditempatkan di Bulog, ya harus belajar dulu lah sedikit." Pernyataan ini menekankan pentingnya kesesuaian kompetensi antara latar belakang pendidikan dan pengalaman anggota TNI dengan tuntutan jabatan sipil yang akan diemban.
Penjelasan lebih lanjut diberikan terkait kekhawatiran akan munculnya dwifungsi TNI. Hasanuddin menilai kekhawatiran tersebut tidak relevan lagi dalam konteks saat ini. Menurutnya, penempatan anggota TNI di kementerian/lembaga tidak akan otomatis menyebabkan kembalinya dwifungsi TNI. Ia menyatakan, "Kekhawatiran bahwa dengan ditempatkannya para perwira di tempat-tempat, di kementerian/lembaga, menurut hemat saya tidak relevan lagi kalau dihubungkan akan kembali laginya kepada dwifungsi." Pernyataan ini memberikan perspektif yang lebih optimistis terhadap wacana penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil.
Penjelasan lebih lanjut mengenai regulasi yang mengatur hal ini juga disampaikan. Pasal 19 ayat (2) huruf a UU ASN menyebutkan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI. Namun, UU TNI saat ini dalam Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun. Pasal 47 ayat (2) mencantumkan pengecualian, yaitu prajurit dapat menduduki jabatan sipil pada institusi tertentu yang membidangi politik dan keamanan negara, pertahanan negara, dan beberapa lembaga terkait lainnya.
Pertimbangan UU ASN dan UU TNI
Peraturan perundang-undangan yang mengatur penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil perlu dikaji secara cermat. UU ASN memberikan peluang, namun perlu diimbangi dengan seleksi yang ketat dan mempertimbangkan kompetensi serta kebutuhan riil di masing-masing kementerian/lembaga. Sementara itu, UU TNI mengatur hal tersebut dengan lebih spesifik, membatasi penempatan tersebut pada institusi-institusi tertentu atau setelah pensiun dari dinas aktif. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi antara kedua UU tersebut untuk memastikan penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil berjalan efektif dan tidak menimbulkan masalah baru.
Kesimpulannya, penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil perlu dilakukan secara selektif dan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kompetensi, kebutuhan, dan dampaknya terhadap karier ASN yang sudah ada. Proses seleksi yang ketat dan perencanaan yang matang menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini.