Tarif AS-China Turun Tajam: Kabar Baik atau Sekadar 'Gencatan Senjata' Sementara?
Penurunan tarif signifikan antara AS dan China memberikan dampak positif bagi ekonomi global, namun keberlanjutannya masih dipertanyakan.
Kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan China untuk mengurangi tarif impor secara signifikan telah menimbulkan optimisme di kalangan pelaku bisnis global. Perjanjian yang dicapai di Jenewa, Swiss, ini menurunkan tarif impor produk China ke AS dari 145 persen menjadi 30 persen, sementara China mengurangi tarif barang AS dari 125 persen menjadi 10 persen. Pengurangan drastis ini, yang diumumkan setelah negosiasi tingkat tinggi antara kedua negara, diharapkan dapat meredakan ketegangan ekonomi global yang dipicu oleh perang tarif sebelumnya.
Pengusaha China, Tat Kei, pemilik pabrik manufaktur peralatan perawatan pribadi yang diekspor ke AS, mengungkapkan rasa senangnya atas kesepakatan ini. Ia menyebutnya sebagai kembalinya 'kewarasan' dalam perdagangan AS-China. Kenaikan tarif sebelumnya telah mengakibatkan pembatalan pesanan dan memaksa banyak produsen China, termasuk Tat Kei, untuk mempertimbangkan relokasi produksi ke Asia Tenggara.
Perjanjian ini menandai berakhirnya periode perang tarif yang telah mengganggu rantai pasokan global dan memicu ketidakstabilan ekonomi. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menegaskan bahwa kedua negara sepakat untuk menghindari decoupling atau pemisahan aktivitas perdagangan ekonomi antara AS dan China, mengakui bahwa tarif yang sangat tinggi sama dengan embargo.
Dampak Positif dan Tantangan yang Tersisa
Berita penurunan tarif disambut positif oleh pasar saham global, yang menafsirkannya sebagai sinyal meredanya kecemasan atas stagnasi ekonomi. Namun, beberapa tantangan tetap ada. Meskipun pengurangan tarif dapat mengurangi tekanan inflasi dan memberikan ruang gerak bagi bank sentral di Asia, keberlanjutan kesepakatan ini masih dipertanyakan.
Banyak produsen China telah memindahkan sebagian lini produksi mereka ke Asia Tenggara karena berbagai faktor, termasuk peningkatan biaya tenaga kerja di China dan penerapan strategi 'China+1'. Langkah ini, meskipun berdampak positif bagi ekonomi ASEAN, juga menimbulkan tantangan seperti masalah lingkungan dan ketimpangan pendapatan.
Asia Times berpendapat bahwa kesepakatan AS-China ini menunjukkan pergeseran posisi kebijakan ekonomi di negara-negara Asia, termasuk ASEAN. Negara-negara seperti India, Filipina, dan Indonesia kini memiliki fleksibilitas lebih besar untuk memprioritaskan penguatan kondisi domestik.
Ketidakpastian dan Perlunya Kewaspadaan
Perlu diingat bahwa detail kesepakatan AS-China masih belum diungkapkan secara lengkap, dan belum ada mekanisme penegakan yang memaksa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengingat reputasi Donald Trump yang kerap dianggap tidak konsisten dalam memegang janji. Oleh karena itu, periode pengurangan tarif 90 hari ini harus dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan yang matang terkait produksi dan pengiriman produk.
Meskipun demikian, kesepakatan ini tetap memberikan sinyal positif, terutama karena dilakukan di Jenewa, lokasi markas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini dapat diartikan sebagai sinyal kembalinya perundingan perdagangan multilateral dan komitmen untuk menyelesaikan perselisihan melalui jalur diplomasi, bukan tarif balasan.
Kesimpulannya, penurunan tarif AS-China merupakan perkembangan positif yang berpotensi meredakan ketegangan ekonomi global. Namun, keberlanjutannya dan dampak jangka panjangnya masih perlu dipantau dengan cermat. Kehati-hatian dan perencanaan yang matang tetap diperlukan bagi para pelaku bisnis dan pemerintah di seluruh dunia.