Temuan Gas Besar Terkendala Infrastruktur: SKK Migas Ungkap Tantangan Distribusi di Indonesia
SKK Migas mengungkap temuan cadangan gas yang signifikan di Indonesia Timur terhambat oleh infrastruktur distribusi yang belum memadai, sehingga pasokan gas ke wilayah barat masih menjadi tantangan.
Jakarta, 16 Mei 2024 - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengungkapkan adanya temuan cadangan gas yang cukup besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Namun, potensi tersebut terkendala oleh infrastruktur penyaluran yang belum memadai, terutama karena sebagian besar temuan gas berada di wilayah timur Indonesia, sementara permintaan (demand) terkonsentrasi di wilayah barat, seperti Jawa dan Sumatera. Hal ini disampaikan oleh Vice President Komersialisasi SKK Migas, Ufo Budiarius Anwar, di Jakarta.
Ufo menjelaskan bahwa gas bumi semakin diminati sebagai sumber energi yang lebih bersih dibandingkan sumber energi fosil lainnya. Meningkatnya konsumsi gas bumi sejalan dengan strategi transisi energi pemerintah, terlebih mengingat temuan cadangan migas beberapa tahun terakhir didominasi oleh gas. Namun, kesenjangan antara lokasi sumber pasokan dan lokasi permintaan menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, diperlukan berbagai metode penyaluran, baik melalui pipa gas maupun solusi beyond pipeline seperti LNG (Liquified Natural Gas).
Data SKK Migas tahun 2024 menunjukkan rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD, dengan lebih dari 60 persen diperuntukkan bagi kebutuhan domestik. Hanya 24,17 persen diekspor dalam bentuk LNG, dan 6,95 persen diekspor melalui pipa gas ke Singapura. Ufo menegaskan bahwa gas bumi berperan sebagai lokomotif penggerak ekonomi energi Indonesia, mengingat penggunaannya yang besar di sektor kelistrikan dan pupuk, serta potensi pengurangan impor LPG melalui program city gas.
Tantangan Infrastruktur dan Solusi Jangka Pendek
Meskipun pasokan gas secara kumulatif surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan di berbagai wilayah semakin lebar. Ufo mencontohkan, untuk memenuhi kebutuhan gas hingga Juni 2024, pemerintah terpaksa melakukan swap gas yang diekspor ke Singapura menjadi LNG. Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Hulu Energi (PHE), Rachmat Hidajat, mengakui banyaknya temuan gas di wilayah timur Indonesia membutuhkan kolaborasi pemerintah untuk menjamin akses pasar konsumen.
Rachmat menambahkan bahwa banyaknya stranded field dan lapangan marginal yang belum teroptimalkan membutuhkan kolaborasi pemangku kepentingan untuk mempermudah akses pasar terhadap sumber daya gas tersebut. Hal senada disampaikan oleh Anggota Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, yang menekankan pentingnya pemerintah menyiapkan infrastruktur dasar. Ketiadaan infrastruktur memadai akan meningkatkan biaya dan berdampak pada harga gas. Sugeng mencontohkan pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang akhirnya diambil alih negara setelah mengalami kendala.
Sugeng juga menyampaikan visi pembangunan pipa gas yang terintegrasi dari Aceh hingga Jawa Timur, menjadikan Arun sebagai receiving terminal storage untuk distribusi gas yang lebih efisien dan murah. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menambahkan bahwa pemerintah perlu menggenjot integrasi dan penyediaan infrastruktur gas untuk mengatasi potensi kekurangan pasokan. Ia menjelaskan bahwa sekitar 80 persen cadangan gas berada di Indonesia Timur, sementara konsumen utama berada di wilayah barat.
Peran Badan Usaha dan Strategi Jangka Panjang
Komaidi menjelaskan tantangan dalam membangun pipa gas, yaitu ketidakpastian masa eksploitasi cadangan gas yang memengaruhi minat investor. Oleh karena itu, solusi mengubah gas menjadi LNG dalam skala kecil, meskipun lebih mahal, mungkin lebih logis. Ia juga menyoroti perlunya meluruskan persepsi konsumen di wilayah barat yang terbiasa dengan harga gas murah. Keterlibatan badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta yang memiliki modal kuat dinilai penting untuk mendorong pemanfaatan gas domestik dan menjadi mitra strategis pemerintah dalam penyiapan infrastruktur gas bumi.
Kesimpulannya, potensi gas bumi di Indonesia sangat besar, namun tantangan infrastruktur distribusi menjadi penghambat utama. Kolaborasi pemerintah, BUMN, swasta, dan dukungan regulasi yang tepat sangat krusial untuk mengatasi kesenjangan pasokan dan permintaan, serta memastikan pemanfaatan sumber daya gas bumi secara optimal demi mendukung perekonomian nasional dan transisi energi.