Urgensi Perlindungan Perempuan Pencari Nafkah Utama di Indonesia
Perempuan sebagai pencari nafkah utama di Indonesia meningkat signifikan, namun minimnya perlindungan sosial dan beban ganda mengancam kesejahteraan mereka dan masa depan Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan fakta mengejutkan: 14,37 persen pekerja di Indonesia adalah female breadwinners, perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau tunggal. Fenomena ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi dan ketidaksetaraan gender yang masih membayangi Indonesia. Mereka menghadapi beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga, tanpa perlindungan memadai yang seharusnya mereka terima.
Kenaikan jumlah female breadwinners ini erat kaitannya dengan kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan sosial. Tingginya biaya hidup, khususnya di perkotaan, memaksa banyak perempuan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Namun, akses mereka terhadap pekerjaan formal sangat terbatas, mendorong mereka ke sektor informal yang rawan risiko dan minim perlindungan.
Lebih dari separuh female breadwinners hanya menyelesaikan pendidikan dasar, membatasi peluang kerja formal. Mereka seringkali bekerja di usaha perorangan, mengelola usaha mikro, atau menjadi pekerja informal di sektor perdagangan dan pertanian. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap ketidakpastian pendapatan dan minimnya akses terhadap hak-hak kerja dasar, seperti cuti berbayar, jaminan kesehatan, dan pensiun.
Beban Ganda dan Keterpinggiran Digital
Mayoritas female breadwinners bekerja lebih dari 49 jam per minggu, sambil tetap mengurus pekerjaan rumah tangga. Beban ganda ini berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka, serta membatasi kesempatan untuk berkembang. Selain itu, keterpinggiran digital juga menjadi tantangan tersendiri. Meskipun mayoritas memiliki ponsel, hanya sebagian kecil yang menggunakan komputer untuk bekerja dan memanfaatkan internet untuk meningkatkan produktivitas usaha.
Minimnya akses terhadap teknologi digital membuat mereka semakin terpinggirkan dalam ekonomi digital yang berkembang pesat. Keterbatasan akses ini berdampak langsung pada pendapatan dan peluang usaha mereka. Situasi ini diperparah dengan rendahnya cakupan jaminan kesehatan, di mana hanya 26,58 persen female breadwinners yang terlindungi.
Kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus. Ketika pencari nafkah utama dalam keluarga mengalami kesulitan ekonomi, risiko kemiskinan lintas generasi pun meningkat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemberdayaan female breadwinners bukan hanya soal keadilan gender, tetapi juga ketahanan ekonomi nasional.
Kebijakan Publik yang Belum Memadai
Pemerintah telah meluncurkan beberapa program untuk mendukung UMKM dan pekerja informal, seperti BPJS Ketenagakerjaan, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan pelatihan UMKM. Namun, efektivitas program-program tersebut masih terbatas karena beberapa kendala, seperti hambatan administratif, rendahnya literasi digital dan keuangan, serta ketidaksesuaian konten pelatihan dengan realitas kerja perempuan informal.
Program-program tersebut belum sepenuhnya menjangkau kelompok paling rentan, yaitu perempuan pekerja informal. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi permasalahan ini.
Perlu adanya desain ulang sistem perlindungan sosial agar lebih inklusif dan menjangkau pekerja informal. Model iuran yang fleksibel dan prosedur pendaftaran yang sederhana akan mendorong lebih banyak perempuan untuk mendaftar dan mendapatkan perlindungan.
Solusi yang Komprehensif
Untuk memberdayakan female breadwinners, dibutuhkan pendekatan multi-sektoral yang mencakup beberapa hal berikut:
- Perluasan jangkauan dan subsidi yang tepat sasaran: Memberikan akses yang lebih mudah dan bantuan keuangan bagi perempuan pekerja informal.
- Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan yang relevan: Membekali perempuan dengan keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja modern, termasuk literasi keuangan dan pemasaran digital.
- Integrasi pelatihan dengan koperasi perempuan dan komunitas lokal: Memanfaatkan jaringan sosial yang sudah ada untuk meningkatkan efektivitas pelatihan.
- Pengakuan bentuk kerja fleksibel dan berbasis rumah: Memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi perempuan yang bekerja di sektor informal.
- Perubahan kultural: Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran perempuan sebagai pencari nafkah utama.
Melindungi dan memberdayakan female breadwinners bukan hanya soal belas kasih, tetapi juga merupakan investasi untuk masa depan Indonesia. Mereka adalah pilar ekonomi keluarga dan bangsa, dan sudah saatnya pemerintah dan masyarakat memberikan dukungan yang memadai bagi mereka.