UTBK 2025: Kecurangan Terbongkar, Hardiknas Jadi Momentum Perkuat Karakter Pendidikan Bangsa
Kasus kecurangan UTBK 2025 di tengah peringatan Hardiknas 2025 menjadi momentum evaluasi sistem pendidikan Indonesia agar lebih berkarakter dan berintegritas.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 diwarnai oleh temuan indikasi kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) 2025 gelombang pertama. Sekitar 50 peserta terindikasi melakukan pelanggaran, dengan 10 orang diduga menggunakan jasa joki. Temuan ini, yang diungkap oleh Ketua Tim Penanggungjawab Panitia SNPMB 2025 Eduart Wolok, menjadi cerminan sekaligus momentum untuk memperbaiki sistem pendidikan Indonesia.
Penemuan kecurangan ini bukan tanpa usaha. Tim teknis SNPMB telah bekerja keras memetakan anomali data dan menganalisis pola kecurangan, bahkan bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Meskipun mencoreng semangat Hardiknas, temuan ini justru membuka peluang untuk membangun pendidikan yang lebih jujur, adil, dan berkarakter, sesuai pepatah "Habis gelap, terbitlah terang."
Modus kecurangan yang terungkap sangat beragam dan canggih, mulai dari penggunaan kamera tersembunyi di ciput jilbab dan kacamata, earphone mikro, hingga sistem remote desktop. Bahkan, ada peserta yang menyelundupkan alat bantu dalam kardus printer. Hal ini menunjukkan bahwa praktik kecurangan telah berkembang menjadi sistem yang kompleks dan melibatkan teknologi tinggi, serta kemungkinan jaringan profesional.
Modus Kecurangan UTBK yang Semakin Canggih
Salah satu modus yang ditemukan adalah penggunaan alat bantu canggih seperti kamera tersembunyi di ciput jilbab, kacamata berkamera, earphone mikro, dan sistem remote desktop. Peserta bahkan diduga menyelundupkan alat bantu ujian ke dalam kardus printer di ruang ujian. Modus-modus ini menunjukkan betapa canggihnya teknologi yang digunakan untuk melakukan kecurangan.
Panitia SNPMB tidak tinggal diam. Mereka langsung membekukan hasil peserta yang dicurigai, melakukan investigasi mendalam, dan bekerja sama dengan kepolisian. Eduart Wolok bahkan menduga keterkaitan antara peserta yang curang dengan lembaga bimbingan belajar tertentu yang diduga memfasilitasi perjokian massal.
Perjokian dalam UTBK bukanlah hal baru, namun modusnya semakin canggih seiring perkembangan teknologi. Lembaga bimbingan belajar yang diduga terlibat bahkan mengatur alur keberangkatan peserta dari berbagai daerah, memfasilitasi tempat tinggal, dan mendampingi mereka selama UTBK. Eduart Wolok menegaskan bahwa perjokian merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai pendidikan yang menjunjung tinggi kejujuran dan usaha pribadi.
Sistem pendidikan bukan hanya soal kelulusan, tetapi juga bagaimana seseorang mencapainya: dengan jujur, tekun, dan usaha sendiri. Nilai moral inilah yang harus dijaga.
Kembali ke Akar Nilai Pendidikan: Karakter dan Integritas
Kepala Pusat Riset Pendidikan BRIN, Trina Fizzanty, memberikan pandangan bahwa masalah kecurangan UTBK bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah budaya dan orientasi pendidikan. Pendidikan di Indonesia terlalu menekankan capaian akademik dan hasil akhir, sehingga kejujuran dan tanggung jawab terkorbankan.
"Pendidikan kita terlalu berorientasi pada capaian akademik semata. Hal ini membuat siswa dan orang tua merasa bahwa nilai atau kelulusan adalah segalanya," ungkap Trina Fizzanty. Pendidikan seharusnya membentuk manusia utuh, cerdas secara akademik dan dewasa secara etika dan sosial.
BRIN mendukung pendekatan pendidikan yang lebih humanis dan holistik, yang melibatkan pembangunan karakter. Nilai-nilai integritas harus melekat karena kesadaran, bukan karena takut tertangkap. Insiden ini menjadi refleksi bahwa Indonesia perlu membangun sistem pendidikan yang adil, berkualitas, dan berintegritas.
Langkah cepat SNPMB dalam mengungkap dan menindak kecurangan menunjukkan bahwa sistem bisa diperbaiki. Pemerintah perlu menertibkan lembaga bimbingan belajar yang tidak bertanggung jawab dan menyusun kebijakan yang mengedepankan nilai-nilai pendidikan.
Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan pengawasan yang keras, tetapi juga membenahi sistem nilai. Pendidikan yang baik membentuk pribadi jujur karena kesadaran, bukan karena takut dihukum. Hardiknas 2025 harus menjadi titik balik untuk mewujudkan pendidikan yang tak hanya mengejar prestasi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus menuntun kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Indonesia memiliki potensi untuk bangkit, dan kasus UTBK 2025 menjadi bukti bahwa sistem kita mau memperbaiki diri. Dengan kerja sama yang kuat antara pemerintah, lembaga pendidikan, riset, dan masyarakat, pendidikan Indonesia akan melangkah lebih jauh.
Peringatan Hardiknas 2025 ini menjadi titik tolak transformasi untuk memperkuat jati diri pendidikan bangsa. Pendidikan yang menanamkan nilai, membentuk karakter, dan membangun masa depan bangsa yang lebih jujur, adil, dan bermartabat.