Wakil Rakyat Ikut Basah-Basahan di Gebyuran Bustaman, Tradisi Unik Semarang
Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, turut berpartisipasi dalam Gebyuran Bustaman di Semarang, tradisi unik perang air yang menyimbolkan penyucian diri sebelum Ramadan.
Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, merasakan pengalaman unik dan menyenangkan saat berpartisipasi dalam Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman, Semarang, Minggu (23/2). Acara tahunan ini merupakan tradisi menyambut bulan puasa dengan perang air yang meriah. Gebyuran Bustaman, yang telah berlangsung sejak tahun 1742, menawarkan pengalaman kebersamaan yang langka bagi seorang anggota parlemen yang biasanya terikat oleh protokol ketat.
"Sangat menyenangkan. Karena saya kan selama berbagai kegiatan di Jakarta maupun daerah, kan enggak ada yang membaur gini, lalu nekat gitu nyiram-nyiramin gitu ya. Serunya kalau (nilai, red.) 1 sampai 10, serunya ada di 8,5," ungkap Samuel Wattimena di sela-sela kegiatan. Ia mengaku senang bisa membaur dengan masyarakat tanpa batasan protokol yang biasanya mengiringi aktivitasnya.
Tradisi Gebyuran Bustaman sendiri memiliki makna spiritual yang dalam. Perang air ini diyakini sebagai ritual pembersihan diri dari dosa-dosa sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Hal ini sejalan dengan filosofi "soreng-soreng" atau coret-coret yang dilakukan sebelum perang air dimulai, yang melambangkan kesalahan dan dosa yang perlu dibersihkan.
Tradisi Gebyuran Bustaman: Sejarah dan Makna
Gebyuran Bustaman, sesuai namanya, merupakan upacara perang air yang telah berlangsung sejak tahun 1742. Tradisi ini dipelopori oleh Kiai Bustam dan sempat vakum hingga akhirnya dihidupkan kembali 13 tahun lalu. Menurut Suhari Bustaman, sesepuh Kampung Bustaman, filosofi Gebyuran Bustaman adalah ritual penyucian diri sebelum bulan Ramadan. Sebelum perang air dimulai, peserta akan saling melumuri wajah dan tubuh dengan coretan warna-warni yang kemudian akan luntur saat terkena air.
Kegiatan ini tidak hanya melibatkan warga Kampung Bustaman, tetapi juga menarik banyak peserta dari luar daerah. Suhari memperkirakan sekitar 1.000 orang berpartisipasi, termasuk 400 warga Kampung Bustaman. Keikutsertaan Samuel Wattimena semakin menambah semarak acara ini, menunjukkan bahwa tradisi Gebyuran Bustaman mampu menarik perhatian dari berbagai kalangan.
Pemerintah Kota Semarang juga turut mendukung penuh acara ini. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso, menyatakan bahwa Gebyuran Bustaman semakin meriah setiap tahunnya dan telah menjadi salah satu andalan dalam Calendar of Event Pariwisata Kota Semarang. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melestarikan tradisi unik dan bersejarah ini.
Dukungan Pemerintah dan Pelestarian Budaya
Wing Wiyarso menambahkan bahwa meskipun dalam kondisi ekonomi yang menantang, antusiasme masyarakat dan donatur sangat tinggi. Pemerintah Kota Semarang berkomitmen untuk terus mendukung Gebyuran Bustaman sebagai tradisi khas Semarang yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain. Setelah saling melumuri cat dan perang air, acara diakhiri dengan menikmati hidangan gulai bersama.
Samuel Wattimena juga memberikan apresiasi tinggi terhadap tradisi Gebyuran Bustaman. Ia menilai tradisi ini penting untuk dilestarikan agar generasi muda tetap mengingat sejarah Kota Semarang. Ia bahkan berharap agar Gebyuran Bustaman dapat dibuat lebih meriah lagi di tahun-tahun mendatang. Keikutsertaannya dalam acara ini juga menunjukkan dukungannya terhadap pelestarian budaya lokal.
Sehari sebelum Gebyuran Bustaman, Samuel Wattimena juga menginisiasi peragaan busana dengan tema "Sukacita Bustaman Pertunjukan Bersama Warga", melibatkan warga Kampung Bustaman sebagai model. Hal ini menunjukkan kepeduliannya terhadap pemberdayaan masyarakat dan promosi budaya lokal.
Gebyuran Bustaman bukan hanya sekadar perang air, tetapi juga merupakan perpaduan unik antara tradisi, budaya, dan keakraban masyarakat. Acara ini sukses menyatukan berbagai kalangan, dari warga lokal hingga pejabat negara, dalam satu perayaan yang meriah dan bermakna.