Garin Nugroho Kritik Sistem Hukum Indonesia lewat Film "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang"
Film "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" garapan Garin Nugroho mengupas empat kisah nyata ketidakadilan sistem hukum Indonesia yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, ditayangkan dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia.

Film terbaru sutradara Garin Nugroho, "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang", bukan sekadar tontonan, melainkan kritik sosial tajam terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia. Diproduksi kolaborasi Stranas PK, Garin Workshop, dan Padi Padi Pictures, film ini menampilkan empat kisah nyata yang menggambarkan ketidakadilan sistemik: hukum yang tumpul bagi mereka yang berkuasa dan tajam bagi masyarakat awam. Film ini bahkan turut berpartisipasi dalam International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2024, membawa isu penegakan hukum Indonesia ke kancah internasional.
Sejak awal, film ini memperlihatkan ketidakberdayaan masyarakat awam menghadapi hukum. Tokoh-tokohnya digambarkan minim pemahaman hukum, sehingga mudah dimanfaatkan untuk kriminalisasi atas tindakan-tindakan yang sebenarnya wajar. Empat kisah pilu ini menjadi sorotan utama, mengungkap betapa mudahnya sistem hukum Indonesia dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
Garin Nugroho, melalui film ini, mengungkap realitas pahit yang dihadapi masyarakat kecil. Ketidakadilan yang digambarkan bukan hanya fiktif, melainkan terinspirasi dari kasus-kasus nyata yang pernah terjadi di Indonesia, menunjukkan betapa rentannya masyarakat awam terhadap praktik-praktik hukum yang tidak adil.
Kisah-Kisah Pilu yang Menyesakkan
Film ini diawali kisah Tuminah, seorang perempuan yang dihukum satu tahun penjara karena mengambil dua butir kakao yang jatuh di perkebunan. Kisahnya mirip kasus Nenek Minah di Banyumas (2009). Tuminah, diperankan Minten, hanya menjemur kakao tersebut, bukan untuk diperjualbelikan. Air matanya menjadi simbol ketidakberdayaan rakyat kecil menghadapi hukum yang berat sebelah. Ironisnya, korporasi pemilik perkebunan mengincar lahan rumah Tuminah, dan tuduhan pencurian kakao menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Selanjutnya, ada kisah Pak Kirman (diperankan Agus Becak), terinspirasi dari kasus Tukirin di Nganjuk (2008). Seorang petani inovatif yang mengembangkan benih jagung hibrida justru dikriminalisasi atas nama hak paten korporasi. Kisah ini menggambarkan disparitas hukum yang melindungi kepentingan bisnis besar, sementara menghambat inovasi dan kedaulatan pangan petani kecil.
Krisna (Alex Suhendra), terinspirasi dari Daniel Frits di Jawa Tengah, adalah aktivis muda yang dijerat UU ITE karena mengungkap dampak lingkungan tambak udang ilegal. Kasusnya (2024) menunjukkan bagaimana hukum digunakan untuk membungkam suara kritis dan melindungi bisnis haram.
Terakhir, ada kisah seorang tetua adat (Fajar Suharno), mirip kasus Sorbatua Siallagan di Sumatera Utara. Ia dituduh menduduki lahan negara, merupakan contoh perampasan hak komunal masyarakat adat. Kisah ini menyoroti pentingnya hutan bagi keberlangsungan hidup dan pengelolaan wilayah adat.
Puspa: Simbol Harapan yang Rapuh
Della Dartyan sebagai Puspa, pengacara muda idealis, menjadi benang merah keempat kisah ini. Sebagai saudara perempuan Krisna, perjuangannya didorong oleh ikatan keluarga dan idealismenya. Ia berjuang membela mereka yang tertindas, namun menghadapi sistem yang korup dan bias. Rantang merah yang dibawanya menjadi simbol harapan yang rapuh di tengah ketidakadilan.
Adegan akhir film, Puspa tertidur di bus dengan tatapan kosong, kemudian seorang anak kecil mengembalikan rantang merahnya. Senyum tipis Puspa menyiratkan secercah harapan yang akan terus diperjuangkan, meskipun menghadapi tantangan besar.
Pendekatan Arthouse yang Bermakna
Garin Nugroho menggunakan pendekatan arthouse, mengeksplorasi kekuatan visual dan keheningan untuk menyampaikan pesan. Sinematografi Mandella Pracihara dan penyuntingan Andhy Pulung menciptakan atmosfer dramatis dan membingungkan, menonjolkan ketidakadilan yang terjadi. Dua adegan kunci, yaitu Puspa menyaksikan istri Kirman memakan jagung yang tidak layak konsumsi dan Puspa menemukan hanya gundukan tanah di tempat tetua adat menggali lubang, sangat berkesan dan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keadilan.
Musik dangdut Jawa "Jarene" menjadi elemen unik, menambah nuansa emosional film ini. Secara keseluruhan, "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" adalah film yang menghibur sekaligus menggugah kesadaran. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan dan bertindak demi tegaknya keadilan di Indonesia. Film ini telah dirilis pada 9 Desember 2024 dan 9 Mei 2025 dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia.
Film ini menjadi pengingat penting betapa pentingnya memperjuangkan keadilan dan melawan ketidakadilan yang terjadi di sistem hukum Indonesia. Harapannya, film ini dapat memicu diskusi dan perubahan nyata demi masa depan yang lebih baik.